Bisnis.com, Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan menggunakan teknologi pengenalan wajah di rumah sakit untuk mendeteksi penipuan atau penipuan dana asuransi kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan (Trud) Ali Gufron Mukti mengatakan, pihaknya sudah memulai program teknologi ini di beberapa rumah sakit namun tidak dilaksanakan secara bersamaan.

Jadi kedepannya ada yang mau klaim, maaf ini bohong, sampai muncul wajah pasangan yang otomatis bisa dikenali sebagai pasangan atau tidak, kata Ghufran, Kamis (8). /8/2024) TMII bertemu di Jakarta.

Pola lain yang mungkin terjadi adalah klaim palsu yang dibuat oleh rumah sakit yang pasiennya tidak mengikuti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kufran menjelaskan, seluruh rumah sakit akan diminta berinvestasi pada teknologi ini. Ia mengatakan, investasi tersebut relatif murah sehingga tidak diperlukan dukungan pemerintah untuk membelinya.

“Murah sekali, bisa lewat telepon seluler. Kalau klaim BPJS ratusan juta, miliaran, hampir tidak ada apa-apa. Murah,” ujarnya.

Ghufron mengatakan, teknologi pemantauan kesehatan BPJS untuk pekerjaan rumah sakit merupakan yang tercanggih saat ini. Ia membandingkannya dengan manajemen rumah sakit seperti di Amerika.

“Yang jelas PBJS itu canggih. Kita lihat di negara mana pun dibandingkan Amerika, kita berani. Bandingkan perilaku semua rumah sakit di seluruh Indonesia. Kita tahu. Bukan hanya di rumah sakit, tapi yang di dalamnya ada dokternya. , berapa hari operasinya?, khusyuk,” ucapnya.

Ghufron belum memiliki target kapan teknologi tersebut akan diterapkan di rumah sakit secara bersamaan. Ia berharap hal itu segera terealisasi.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan penipuan terkait rekening klaim JKN yang menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai sekitar Rp35 miliar.

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan panitia gabungan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kelompok Pengkajian Keuangan dan Pembangunan (PPK) PPJS Kesehatan, ditemukan sampel. Dari enam rumah sakit yang mengajukan klaim, tiga di antaranya diduga menggunakan seluruh dokumen pendukung klaim JKN.

Khususnya sebuah rumah sakit di Jawa Tengah yang memiliki klaim palsu mulai dari Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Belakangan, satu rumah sakit di Sumut diduga menggelapkan Rp1 miliar hingga Rp3 miliar, dan satu rumah sakit lagi diduga menggelapkan Rp4 miliar hingga Rp10 miliar.

Pahala Nainggolan, Wakil Ketua Bidang Pencegahan dan Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, menjelaskan ada dua metode yang digunakan di rumah sakit yakni phantom billing dan deteksi/pengobatan ruang.

Manipulasi diagnostik dilakukan dengan memberikan diagnosis yang berbeda agar hasil pengujian mendapatkan penerapan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, ada dugaan penipu yang mempromosikan aplikasi JKN. 

“Bedanya dengan phantom billing, orangnya tidak ada, tidak ada pengobatan, ada yang klaim. Kalau diagnosa medis, orangnya berobat, klaimnya besar sekali. Sengaja diklaim dua kali pengobatan. 10 kali,” jelas Bahala. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel