Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba mengajukan perpanjangan stimulus penyesuaian pinjaman Covid-19 hingga 2025 kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apa saja pro dan kontra spesifik serta moral hazard jika kebijakan ini diterapkan?

Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit ini merupakan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan direkomendasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

“Sebelumnya ada perintah dari Presiden agar restrukturisasi pinjaman akibat Covid-19 yang seharusnya jatuh tempo pada Maret 2024 diusulkan ke OJK, kemudian melalui KSSK dan Gubernur BI ditunda hingga tahun 2025,” ujarnya kepada OJK. . Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (24/6/2024).

Airlangga menjelaskan, tujuan peningkatan insentif tersebut adalah untuk mengurangi beban perbankan yang merugi akibat meningkatnya kredit macet. 

Pelaku usaha mencatat saldo kredit yang disesuaikan per 31 Maret 2024 sebesar Rp 228,03 triliun, lebih rendah dibandingkan posisi akhir tahun 2023 sebesar Rp 265,78 triliun.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, dalam keputusan penghentian restrukturisasi pinjaman akibat Covid-19, OJK sudah memperhitungkan dampaknya.

OJK juga mempertimbangkan kecukupan modal, cadangan atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), likuiditas, dan potensi pertumbuhan kredit.

Jika kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 selesai maka pertumbuhan kredit pada tahun 2024 akan tetap lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.

“Jadi kalau dilihat [berakhirnya stimulus] memang terjadi di akhir Maret kemarin, atau nanti, tidak ada yang aneh-aneh,” ujarnya usai Diskusi Edukasi Keuangan Bundaku, Selasa (25/6/2021). 2024).

Meski demikian, OJK memahami usulan pemerintah untuk memperpanjang restrukturisasi pinjaman Covid-19. “Ada perhatian khusus terhadap kemungkinan pertumbuhan kredit di daerah tertentu,” ujarnya.

Keuntungan dan Kerugian bagi Bank

Dosen Senior Lembaga Pengembangan Bank Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 akan baik jika restrukturisasi perbankan yang tertunda bisa dikurangi. Hal ini dilakukan oleh bank baik melalui periklanan atau pinjaman atau restrukturisasi lainnya.

Oleh karena itu, permasalahan kredit bermasalah (NPL) khususnya pada Kredit Komersial Perorangan (KUR) dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (MPME) terus berlanjut dengan baik.

“[Perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19] ini bagus asalkan debitur bisa rutin melakukan pembayaran sehingga tidak membebani perbankan,” kata Amin kepada Bisnis, Selasa (25/6/2024).

Amin meyakini, pada hakekatnya berakhirnya restrukturisasi pinjaman Covid-19 mulai Maret 2024 akan meningkatkan NPL yang timbul akibat memburuknya restrukturisasi pinjaman pada Pilar 1 dan Pilar 2 pada enam bulan ke depan.

“Jadi upaya ini [memperluas restrukturisasi pinjaman Covid-19] bisa menurunkan tingkat NPL, bank tidak perlu membuat cadangan besar yang bisa menghasilkan keuntungan,” ujarnya.

Selain itu, jika terjadi tren suku bunga tinggi atau tinggi dalam jangka waktu yang lama, bank harus menjaga cost of money. Bank tentunya menyeimbangkan biaya dana atau menjamu pinjaman yang ditargetkan dengan aset produktif yang memberikan imbal hasil tinggi.

“Bank-bank besar juga banyak yang melakukan perubahan RBB [banking business plan] mulai dari target kredit dan DPK [dana pihak ketiga]. Jadi kalau ditambah akan memudahkan perbankan,” ujarnya.

Ekonom Institute of Economic Development and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai usulan perpanjangan amandemen Covid-19, dari sebelumnya yang seharusnya ditunda pada Maret 2024 hingga 2025, perlu mendapat perhatian serius. dipertimbangkan. .

“Pergerakan keuntungan bank tidak turun kok, kalau diberi insentif lagi ujung-ujungnya kena [membuat bank malas],” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/6/2024).

Menurut dia, dalam menerbitkan amandemen tersebut sangat penting untuk mempertimbangkan keadaan likuiditas bank. Sementara itu, saat ini Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 25,6% mulai April 2024 dinilai cukup dan telah melewati batas 10%.

“Situasi likuiditas [bank-bank RI] sangat luas, tidak ada yang kesulitan likuiditas,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan NPL sendiri bukan menjadi alasan utama mudahnya meminta kenaikan pinjaman restrukturisasi akibat Covid-19.

“Kalau nanti NPL naik, [bankir] harus berhati-hati dalam penyaluran kreditnya, jangan melakukan penyesuaian lagi. Kalau insentif diberikan, saya khawatir likuiditas tidak diberikan pada perusahaan produktif, malah dipertahankan. . atas nama pemerintah [SBN],” kata pria yang akrab disapa Ucok itu.

Ia mengatakan, tren total NPL dan total NPL sektor tersebut masih terkendali, masing-masing kurang dari 3% dan 1%.

Padahal, saya menilai kenaikan NPL harusnya dilihat secara normal. Berdasarkan data OJK, NPL perbankan per Maret 2024 membaik menjadi Rp163,26 triliun dari bulan lalu Rp166,6 triliun.

Ucok juga mengatakan, faktor geografis dan periode suku bunga tinggi tidak banyak berpengaruh terhadap perbankan Indonesia, kecuali porsi pinjaman valas bank tersebut sangat besar, misalnya 50% dari portofolio yang ada.

Perluasan Risiko Etis Restrukturisasi Kredit Covid-19

Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) Efdinal Alamsyah mengatakan OJK sebaiknya melakukan kajian mendalam mengenai dampak berakhirnya stimulus restrukturisasi Covid-19 terhadap sektor perbankan. OJK juga meminta perbankan melakukan persiapan sebelum menghentikan stimulus.

Namun terkait usulan perpanjangan restrukturisasi pinjaman Covid-19, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan.

“Jika ingin memperpanjang stimulus restrukturisasi Covid-19 hingga tahun 2025, memperpanjang restrukturisasi dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan moral hazard,” ujarnya.

Menurut dia, debitur tidak punya motivasi untuk memperbaiki keadaan keuangannya karena harapan akan selalu ada keringanan. Selain itu, perpanjangan stimulus restrukturisasi pinjaman Covid-19 hanya bisa menjadi penundaan permasalahan. 

“Restrukturisasi kredit jangka panjang hanya dapat menunda permasalahan debitur yang pada akhirnya tidak mampu memulihkan usahanya, dan akan terjadi peningkatan kredit macet setelah masa restrukturisasi berakhir,” ujarnya.

Perpanjangan restrukturisasi pinjaman Covid-19 juga dapat menjadi beban bagi perbankan. Jika bank terus memberikan pinjaman yang dimodifikasi, hal ini pada akhirnya dapat mengganggu profitabilitas dan kemampuan bank untuk memberikan pinjaman baru.

Oleh karena itu, perpanjangan stimulus restrukturisasi pinjaman Covid-19 harus mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini, tingkat pemulihan sektor-sektor yang paling terkena dampak, dan kemampuan sistem perbankan untuk mengambil lebih banyak risiko, katanya. dikatakan.

Ekonom Aviliani juga mengingatkan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 tidak boleh menimbulkan moral hazard.

“Restrukturisasi itu bukan untuk umum. Namun, [restrukturisasi] sebenarnya perlu dan masih ada kendala,” ujarnya.

Tanggapan bank

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) menyuarakan usulan pemerintah kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperpanjang restrukturisasi pinjaman Covid-19 hingga tahun 2025.

Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi mengatakan pihaknya masih menunggu kelanjutan pidato tersebut.

Pasalnya Bank Mandiri menilai saat ini tidak ada permasalahan penurunan kualitas portofolio kredit yang menyebabkan kebutuhan cadangan kerugian semakin meningkat.

Padahal, saat ini rasio NPL kita berada di level rendah yakni sekitar 1%, ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/6/2024).

Tercatat hingga triwulan I 2024, NPL konsolidasi Bank Mandiri tercatat sebesar 1,17%, turun 60 bps dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 1,77%. Kemudian, LaR kredit macet atau pinjaman berisiko sebesar 8,43%, turun 287 bps dari sebelumnya 11,3%. 

Pada saat yang sama, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) Lani Darmawan mengatakan, usulan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 harus dilihat dengan lebih memperhatikan sisa portofolio restrukturisasi di bank tersebut.

“Itu yang diketahui OJK,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/6/2024).

Kalau yang menjadi perhatian adalah portofolio pinjaman komersial (KUR), menurut CIMB Niaga sendiri, portofolio ini sudah lengkap.

“Kami menghormati peraturan yang ada,” ujarnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel