Bisnis.com, JAKARTA – Joko Widodo (Jokowi) menghabiskan lebih dari Rp 3,500 triliun uang rakyat untuk membangun infrastruktur di Indonesia semasa menjabat sebagai orang pertama di negara ini. 

Nyatanya, stimulus moneter tersebut tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang berada di angka 5%. 

Dibandingkan masa Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014), dengan belanja infrastruktur yang tidak setinggi pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi mampu meningkat lebih dari 6%. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan angka kemiskinan pada masa pemerintahan Jokowi tidak secepat pada masa SBY. 

BPS mencatat proporsi penduduk miskin terhadap total penduduk Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar 16,66%. Pada tahun 2014, jumlah penduduk miskin turun menjadi 11,25%. Dengan kata lain, SBY mampu menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 5,41% dalam 10 tahun. 

Sedangkan persentase penduduk miskin pada masa pemerintahan Jokowi mengalami penurunan sebesar 2,22%, dari 11,25% (2014) menjadi 9,03% pada semester I tahun I/2024. 

Saat ini yang sedang dipertimbangkan adalah arah kebijakan anggaran infrastruktur tahun ini, yaitu percepatan pembangunan infrastruktur untuk menggerakkan perekonomian (komunikasi dan transportasi, energi dan listrik, pangan). 

Di sisi lain, BPS juga mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2004 sebesar 9,86%. Ketika SBY menjabat sebagai presiden, tingkat pengangguran turun menjadi 5,7% pada tahun 2014. 

Saat ini, pada tahun 2014 hingga 2024 atau masa jabatan Jokowi, TPT mengalami penurunan dari 5,7% menjadi 4,82% atau hanya turun 0,88%. 

Efek jangka panjang

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede melihat perbedaan fokus pemerintahan SBY dan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur. 

Sedangkan untuk dampak ekonomi seperti angka kemiskinan dan GNI, Josua mengatakan hal-hal tersebut tidak bisa diukur karena tidak sama atau apple to apple. 

Pasalnya, pada masa pemerintahan SBY sering terjadi booming komersial. Selain itu, fokus SBY adalah menjaga daya beli sehingga dampak inflasi terbatas seiring dengan kecenderungan harga. 

“Ini target lain pemerintahan Pak SBY dan Jokowi. “Kami yakin pembangunan infrastruktur tidak bisa dirasakan dalam jangka pendek, lebih dari 10 tahun dari sekarang, setidaknya infrastruktur akan berdampak positif terhadap terbukanya sektor usaha baru dan peluang usaha baru,” jelasnya dulu. 

Josua mengatakan, dampak pembangunan infrastruktur sekilas terlihat pada pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur, rumah bagi Ibu Kota Negara Kepulauan (IKN). 

Hingga triwulan II tahun 2024, perekonomian Kalimantan Timur mampu tumbuh sebesar 5,22%, antara lain berkat sektor konstruksi. Bahkan, perekonomian Kalimantan Timur tumbuh melebihi perekonomian nasional sebesar 5,05% pada periode tersebut. 

Ke depan, tugas pemerintahan baru adalah melanjutkan pembangunan dan meningkatkan kualitas pekerja, agar gedung-gedung besar yang telah dibangun tidak sia-sia. 

“Infrastruktur sudah kita bangun, yang berikutnya adalah peningkatan produktivitas tenaga kerja, biaya tenaga kerja, kita relatif rendah. “Jadi yang menjadi pertanyaan mengapa banyak sekali perusahaan Tiongkok yang datang ke Vietnam pada saat perang dagang AS-Tiongkok,” jelas Josua. 

Tanpa berkecil hati, Josua mengingatkan agar investasi ke dalam negeri lebih didorong dan menyasar pada industri padat karya yang menyerap lebih banyak tenaga kerja. 

“Mudah-mudahan ini bisa merangsang regenerasi dunia usaha sehingga kita bisa keluar dari middle income trap,” ujarnya. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel