Bisnis.com, JAKARTA – Sikap baik pemerintah dalam mengantisipasi krisis ketenagakerjaan yang biasa terjadi dan dampaknya terhadap APBN pasca Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di sektor manufaktur tidak hanya diapresiasi oleh pelaku industri, namun juga oleh para pekerja. .

Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran yang besar di kalangan pekerja bahwa PHK yang terjadi baru-baru ini di industri manufaktur, karena alasan tertentu, akan diikuti oleh upaya perekrutan kembali dalam skala kecil.

Misalnya saja pada industri tekstil. Perusahaan-perusahaan di sektor ini tidak berharap dapat mendatangkan kembali banyak pekerja yang di-PHK selama impor terus melemahkan pasar dalam negeri.

Demikian menurut Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). Ia pun meminta pemerintah segera menyikapi situasi tersebut, mengingat banyaknya pegawai Badan Perencanaan dan Koordinasi Nasional.

Saat ini, Timboel menyebutkan jumlah pekerja konstruksi atau produsen mencapai 13,28% dari total 142,18 juta tenaga kerja nasional.

“Kalau dibiarkan, apa yang harus dilakukan di tempat kerja bisa mengurangi uang dan menambah beban negara. Saya berharap mereka yang dipecat bisa dibawa bekerja di sektor manufaktur dan lainnya. Itu normal. Pekerja,” ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus membenahi lembaga pelatihan tenaga kerja yang ada. Dengan cara ini keterampilan para pekerja yang dipecat dapat ditingkatkan dan mereka dapat bekerja di bidang lain.

Selain itu, hal tersebut harus disikapi dalam upaya penguatan sektor tersebut dengan mendorong pemotongan pajak dan instrumen lain dari pemerintah, tambah Timboel.

Saat ini terdapat beberapa program pelatihan yang dijalankan pemerintah, antara lain program pelatihan perizinan pra kerja, program pelatihan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan program pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Sumber Daya Manusia (Kemenaker).

Selain itu, pemerintah didorong untuk mendata langsung pegawainya. Salah satu tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pekerja informal yang tergolong perantara untuk dijadikan sasaran pajak.

“84 juta pekerja informal tersebut tidak hanya merupakan pekerja kecil dan menengah, tetapi juga advokat independen, bidan, dokter, insinyur/kontraktor,” jelas Timboel.

Dalam hal ini, kata dia, pemerintah bisa membentuk tim ahli untuk memeriksa pekerja sipil guna mengumpulkan data.

“Ini benar-benar sesuatu yang tidak ada sekarang. Selama ini negara membolehkan non-pegawai membayar atau tidak membayar pajak. Sistem perpajakan kita seperti itu,” ujarnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA