Bisnis.com, JAKARTA – Regulasi terkait keamanan digital yang dikeluarkan pemerintah diharapkan dapat mencegah penipuan di Indonesia.

Berdasarkan laporan penelitian white paper VIDA yang bertajuk ‘Where is the Fraud: Protecting the Indonesia Economic from AI-Inducted Digital Fraud’, terdapat empat jenis penipuan digital utama yang terjadi di dunia, antara lain penipuan yang diakibatkan oleh kecerdasan buatan (AI), dokumen dan pemalsuan tanda tangan, pengambilalihan akun, hingga jejaring sosial (soceng).

Direktur Ekonomi dan Ekonom Digital Center for Economic and Legal Studies (Celios) Nailul Huda menilai keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) seharusnya cukup untuk melakukan penipuan di Indonesia.

“UU PDP seharusnya cukup mengurangi kecurangan jika implementasinya berjalan sempurna dengan banyak prosedur turunan yang segera diterapkan,” kata Huda kepada Bisnis, Minggu (8/9/2024).

Untuk itu, Huda menyarankan agar Tim Pengawas PDP segera dibentuk, dengan prosedur pidana yang harus dipercepat. Oleh karena itu, praktik penipuan dapat dituntut secara hukum.

Jadi kalau ada pihak ketiga yang kehilangan data atau melakukan penipuan, bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum, dengan besaran denda atau pidana, ujarnya

Jika penerapan UU PDP tetap berjalan, lanjut Huda, otomatis aparat penegak hukum akan mengikuti undang-undang tersebut.

“Polisi akan mengikuti undang-undang PDP jika terjadi kejahatan. Harapannya, pihak ketiga dapat meningkatkan sistem keamanan sibernya, tambahnya.

Di sisi lain, Huda menyebut ada krisis strategis yang perlu dibahas yakni Peraturan Ekonomi Digital (RUU) agar kebijakan ekonomi digital, termasuk keamanan siber, bisa mengimbangi perkembangan ekosistem digital.

UU Perdagangan Digital, kata Huda, diharapkan mampu menjadi kerangka yang koheren untuk melindungi data pribadi. Menurutnya, data digital yang diatur dalam UU Ekonomi Digital bisa menjadi undang-undang untuk memperkuat perlindungan data pribadi masyarakat.

Dihubungi terpisah, Pakar Keamanan Siber Vaccinecom Alfons Tanujaya mengatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu bekerja sama dengan kepolisian untuk mengurangi aktivitas penipuan di Indonesia. Sebab, lanjutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak berwenang menindak pelaku penipu.

Polisi harus proaktif, karena penipuan ini besar, meresahkan, dan telah merenggut banyak pengguna internet Indonesia, kata Alfons kepada Bisnis.

Parahnya, kata Alfons, praktik tersebut difasilitasi oleh kebocoran data kependudukan dan data penting lainnya sehingga masyarakat Indonesia menjadi sasaran para penipu yang memanfaatkan data bocor tersebut.

Alfons menilai, untuk mengatur keamanan siber, perlu ditindaklanjuti upaya aparat penegak hukum terkait pemanfaatan kebocoran data yang besar dan meresahkan di Indonesia, selain UU PDP dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Menurutnya, sistem keamanan digital yang baik adalah sistem keamanan yang diterapkan sesuai standar yang ada dan dipantau secara berkala.

Jadi bukan sistem keamanan digital berbasis proyek, tapi harus berkelanjutan, ujarnya.

Salah satu caranya, lanjut Alfons, adalah dengan memantau seluruh perangkat yang mengelola data agar memenuhi standar keamanan dan pengelolaan sistem yang baik.

Berdasarkan laporan pengaduan cekrekening.id, sepanjang 2017 – 2 September 2024 tercatat sebanyak 528.415 kasus penipuan belanja online. Sementara itu, tersisa 43.770 kasus penipuan investasi online. Total ada 572.185 kasus penipuan online. Meningkatkan ekosistem digital

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengatakan pemerintah menginginkan ekosistem manusia yang sehat dan tahan terhadap serangan kejahatan siber.

“Kementerian Komunikasi dan Informatika terus berupaya bersama ekosistem digital di Indonesia untuk terus berbenah, baik pada tataran teknis maupun tataran strategis,” kata Nezar ditemui usai acara Vida bertajuk ‘Di Mana Penipuannya?: Bagaimana Pelaku Usaha Indonesia Bisa Lindungi Transaksi Digital di Jakarta, Kamis (3/9/2024).

Nezar mengatakan, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika sendiri telah menetapkan prosedur pengaduan penipuan di sektor jasa keuangan. Nezar juga mengatakan bahwa serangan siber berdampak pada bisnis.

Menurut Nezar, perlu adanya jaminan keutuhan atau keutuhan data yang dikirimkan dari satu pihak ke pihak lain dalam transaksi elektronik.

Namun demikian, terdapat risiko dokumen yang dikirim melalui internet diubah oleh pihak ketiga yang tidak berwenang, dimana hal ini menimbulkan potensi kerugian sehingga perlu dilakukan pengendalian, ujarnya.

Nezar memandang penggunaan tanda tangan elektronik sebagai solusi permasalahan jaminan identitas dan integritas dokumen elektronik yang diperdagangkan dalam sistem elektronik. Namun, ditegaskannya, perlu diketahui bahwa tidak semua tanda tangan elektronik mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum.

Dalam UU ITE, lanjutnya, ada syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mengeluarkan jaminan, yakni identitas tanda tangan, keutuhan dokumen yang ditandatangani, dan faktor yang tidak terduga.

Dijelaskannya, jaminan ini memberikan keyakinan terhadap dokumen dan transaksi yang dilakukan secara elektronik, sehingga dapat dipastikan kebenarannya adalah hak individu atau kelompok yang melakukan transaksi tersebut.

“Dengan demikian, tanda tangan elektronik tersertifikasi dihasilkan menggunakan teknologi infrastruktur kunci publik yang menggunakan teknik enkripsi, autentikasi, dan verifikasi identitas serta terbukti aman,” jelasnya.

Sedangkan Penyelenggara Sertifikat Elektronik atau PSrE sebagai produsen sertifikat elektronik dan penyedia tanda tangan elektronik diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui beberapa peraturan. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2022 tentang Pemerintah Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE).

PSrE Indonesia memberikan solusi tanda tangan digital yang sederhana, efisien dan legal untuk menyederhanakan prosedur administrasi, sekaligus mencegah penipuan dalam dokumen dan transaksi elektronik.

Nezar menilai penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan sistem verifikasi identitas menggunakan teknologi biometrik, kehidupan, dan teknologi lainnya dapat menurunkan angka kejahatan siber di Indonesia.

Perkembangan lainnya, pada awal Oktober ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana menyerahkan Kebijakan Pemerintah (PP) pada UU PDP untuk diakhiri dengan Tim Pengawas PDP yang langsung berada di bawah Presiden.

Penerbitan UU PDP diharapkan bisa diluncurkan di hadapan pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Nezar mengungkapkan, saat ini prosedur yang dikeluarkan untuk UU PDP hampir selesai dengan persentase 90%.

“UU PDP masih kita susun, peraturan pemerintah masih kita susun, bisa dikatakan sudah selesai 90%, prosesnya masih berjalan, bahkan usulan final sebelum disetujui,” ujarnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel