Bisnis.com, Jakarta – Belakangan ini, tarif biaya kuliah satu kali (UKT) atau PTN di perguruan tinggi negeri semakin menuai kontroversi. Bahkan ada kasus dimana mahasiswa membayar UKT dengan pinjaman online atau tunai. OJK mendorong lembaga jasa keuangan seperti bank menawarkan pinjaman mahasiswa dengan suku bunga lebih murah.

Frederica Widyasari Dewey, Direktur Etika Bisnis Jasa Keuangan, Pendidikan dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan OJK mengetahui kejadian tersebut. OJK juga memastikan penyedia jasa keuangan untuk pelajar legal, teratur dan diatur oleh OJK.

Sementara itu, mengingat permintaan pinjaman mahasiswa, OJK mendorong pinjaman mahasiswa dari lembaga jasa keuangan termasuk skema keuangan murah atau bank.

“Kami sedang berdiskusi dengan penyedia jasa keuangan, ayo kita buka pinjaman pelajar dengan rencana yang lebih nyaman bagi pelajar. Menurut KK, Senin (20/05/2024) acara yang akan digelar di OJK Guru pelatihan bagi para guru.

Menurutnya, seringkali seseorang harus berurusan dengan pinjaman untuk belajar di luar negeri. Sementara itu, di Indonesia, angkanya masih sangat rendah, khususnya pada mahasiswa S1.

“Jadi asalkan rencananya bagus dan tidak terlambat, itu [pinjaman mahasiswa] bisa jadi pilihan, dan bank punya itu,” kata Kiki.

Seperti diketahui, kenaikan UKT yang signifikan di banyak PTN masih menjadi kontroversi. Hal ini bertepatan dengan beberapa demonstrasi mahasiswa dari berbagai daerah yang menuntut pemotongan nominal UKT. Bahkan, perwakilan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi negeri hadir di Auditorium DPR RI pada pekan lalu.

DPR RI menanggapi keinginan mahasiswa tersebut melalui Komisi X. Mereka segera membentuk panitia kerja atau panitia biaya kuliah untuk membahas masalah tersebut.

Sementara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (dari Mendikbud-Ristek) menyatakan permohonan penyesuaian UKT berbelit-belit.

Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan dan Teknologi Tjitjik Sri Tajajandari mengatakan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang ada saat ini belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional.

Dijelaskannya, pendidikan tinggi pada dasarnya adalah pendidikan tinggi yang tidak termasuk dalam kurikulum wajib 12 tahun.

“Kita melihat pendidikan tinggi adalah pendidikan tinggi, jadi tidak wajib. Oleh karena itu, tidak semua lulusan SMA atau SMK wajib masuk perguruan tinggi. Itu opsional,” ujarnya.

Ia menjelaskan, saat ini pemerintah fokus pada pendanaan wajib belajar 12 tahun dan pendidikan tinggi bukan menjadi prioritas.

“Apa implikasinya terhadap pendidikan tinggi? Pendanaan pemerintah fokus pada pendidikan dan prioritasnya adalah pendanaan wajib belajar,” ujarnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel