Bisnis.com, Jakarta – Aktivitas manufaktur China terus mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut hingga Juli 2024.
Berdasarkan laporan Biro Statistik Nasional Tiongkok yang dirilis Rabu (31/7/2024), Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur resmi berada di angka 49,4. Angka tersebut sesuai perkiraan para ekonom dan sedikit lebih rendah dibandingkan angka Juni 2024 sebesar 49,5.
Untuk konteksnya, PMI menetapkan nilai 50 sebagai garis standar. Indeks di bawah 50 menunjukkan adanya perlambatan. Demikian pula, jika nilai PMI lebih tinggi dari 50, hal ini biasanya mengindikasikan peningkatan pembelian dari produsen.
Selain itu, ukuran aktivitas non-manufaktur di sektor konstruksi dan jasa turun menjadi 50,2, di bawah perkiraan rata-rata sebesar 50,3, yang menunjukkan perlambatan ekspansi sejak Juni 2024.
“PMI menunjukkan pertumbuhan yang lemah di Tiongkok. Konsumsi domestik lemah tetapi ekspor menghadapi hambatan dari pasar eksternal,” jelas Woi Chen Ho, ekonom di United Overseas Bank Ltd., seperti dikutip Bloomberg.
Kepala Ekonom Asia Bloomberg Chang Shu dan Ekonom Bloomberg David Qiu mengatakan lemahnya PMI Tiongkok pada Juli 2024 menandakan awal yang buruk pada kuartal III-2024 sehingga membebani pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Analis NBS Zhao Qinghe mengatakan penurunan aktivitas manufaktur pada bulan Juli disebabkan oleh musim produksi yang lebih lambat. Selain itu, banyaknya permintaan pasar dan cuaca ekstrim seperti suhu tinggi dan banjir di beberapa daerah.
Perekonomian Tiongkok tidak seimbang tahun ini, dengan sektor manufaktur yang kadang-kadang berada dalam titik terang, namun konsumsi terbebani oleh krisis real estate yang berkepanjangan. Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, menambahkan bahwa pertemuan Politbiro terbaru tidak menunjukkan perubahan kebijakan yang signifikan pada paruh kedua tahun 2024.
“Tanpa perubahan kebijakan fiskal yang signifikan, prospek pertumbuhan bergantung pada berapa lama pertumbuhan ekspor yang kuat dapat berlanjut,” katanya.
Surplus perdagangan Tiongkok mencapai rekor tertinggi pada bulan lalu, berkat lonjakan ekspor dan penurunan impor yang tidak terduga. Ketidakseimbangan ini mengkhawatirkan mitra dagang Tiongkok. Dua pasar ekspor terbesar Tiongkok, Amerika Serikat dan Uni Eropa, menuduh Tiongkok menciptakan kelebihan kapasitas dalam industrinya melalui subsidi negara.
Namun, para pejabat Tiongkok berpendapat bahwa kapasitas produksi mereka dapat membantu dunia melawan perubahan iklim dan mengendalikan inflasi. “Selama beberapa dekade, Tiongkok telah menjadi kekuatan deflasi bagi dunia dengan memasok produk-produk manufaktur yang bernilai baik,” jelas Wakil Menteri Keuangan Liao Min.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel