Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dibuka melemah pada perdagangan hari ini, Kamis (26/9/2024), di level Rp15.142 per dolar AS.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 0,26% atau 40 poin di Rp 15.142. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,03% menjadi 100,93.

Seperti halnya rupiah, beberapa mata uang Asia juga melemah. Misalnya saja yen Jepang yang melemah 0,08%, dolar Taiwan 0,07%, dan peso Filipina 0,19%.

Sementara itu, banyak mata uang Asia lainnya yang membukukan penguatan. Misalnya dolar Singapura menguat 0,18%, won Korea Selatan naik 0,6%, dan yuan Tiongkok naik 0,12%.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, nilai tukar rupiah diperkirakan mengalami perubahan pada perdagangan hari ini, Kamis (26/9/2024), namun berada pada kisaran Rp 15.000 – Rp 15.120 per dolar AS.

Beberapa pengamatan mengiringi pergerakan rupiah. Dari luar negeri, beberapa pembicara Fed akan memberikan informasi lebih lanjut mengenai suku bunga minggu ini, khususnya pidato Ketua Fed Jerome Powell. 

Data indeks harga pilihan The Fed untuk mengukur inflasi, PCE, akan dirilis besok, Jumat (27/9/2024), dan kemungkinan juga menjadi alasan rencana bank sentral menaikkan suku bunga. 

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada September 2024. BI menegaskan, keputusan ini merupakan semacam peralihan dari stabilitas kebijakan fiskal ke pertumbuhan.

Sementara itu, dampak suku bunga The Fed pada bulan ini diperkirakan akan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah. Perkiraan menunjukkan bahwa inflasi tetap akan berkisar antara 2,5% plus atau minus 1% pada tahun 2024 dan 2025. 

“Yang terpenting adalah peran kebijakan moneter dalam pertumbuhan ekonomi. Jika sebelumnya kebijakan BI yang mendorong pertumbuhan ekonomi bersifat makroprudensial dan sistem pembayaran, kali ini juga didorong oleh kebijakan dana,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Rabu. (25 September 2024).

Harapannya, stimulus kebijakan moneter dalam bentuk penurunan suku bunga akan merangsang lebih banyak pinjaman dari perbankan untuk meningkatkan investasi dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Untuk berita dan artikel lainnya, kunjungi Google Berita dan WA Channel