Bisnis.com, JAKARTA — Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah diproyeksikan terus meningkat hingga akhir tahun menjadi US$218,4 miliar seiring dengan rencana pemerintah melakukan pra-pembiayaan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai APBN 2025.
Finance, Industry and Global Markets Officer Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan, secara keseluruhan, ULN pemerintah masih terkendali baik dari sisi pertumbuhan maupun rasio terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menurut dia, hingga akhir tahun, ULN pemerintah akan terus tumbuh dan menjaga rasio terhadap PDB pada level sekitar 31%.
“ULN akan tumbuh sekitar 8,8% year-on-year [year-on-year] atau $218,4 miliar dengan asumsi pemerintah menyediakan dana di muka pada akhir tahun,” ujarnya, Senin (10/10). 14/2024).
Myurdal melihat kondisi pasar keuangan saat ini sangat mendukung penerbitan kewajiban utang luar negeri dalam denominasi. Mengingat iklim penurunan suku bunga saat ini ditambah volatilitas nilai tukar rupiah masih berlanjut dengan level masih di bawah Rp15.800 terhadap dolar AS.
Sementara rupiah ditutup menguat tipis 0,08% pada Rp15.565,5 per dolar AS, mengutip data Bloomberg hingga pukul 15:00 WIB.
“Di sisi lain, prospek suku bunga global akan terus menurun sehingga merupakan saat yang sangat tepat untuk mengoptimalkan pendanaan dari luar negeri,” lanjutnya.
Diketahui, pemerintah berencana menerbitkan SBN untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 atau tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto, meski tahun anggaran belum dimulai.
Prabowo sebagai presiden terpilih akan menanggung utang baru sebesar Rp 775,87 triliun pada tahun pertamanya menjabat atau pada tahun 2025. Jumlah tersebut seharusnya dapat memenuhi kebutuhan APBN, mengingat defisit APBN pada tahun depan diproyeksi sebesar 2,53%.
Namun, Myurdal terus menyuarakan kekhawatiran mengenai kondisi geopolitik di Timur Tengah, meskipun perubahan harga minyak berdampak kecil.
Sementara dari sisi situasi perekonomian AS, pemilihan presiden di Negeri Paman Sam akan berdampak besar terhadap kebijakan suku bunga Federal Reserve (Fed). Secara keseluruhan, melihat grafik titik terbaru, ia masih melihat ruang untuk penurunan suku bunga hingga tahun 2026.
“Setelah presiden terpilih di sana, mungkin ada skenario berbeda yang mengubah prospek kebijakan suku bunga The Fed dibandingkan situasi saat ini, itu yang kami takuti,” jelasnya.
Sebaliknya, Direktur Jenderal Center for Economic and Legal Studies (Celios) Bhima Yudhisthira memang melihat risiko yang sangat mungkin muncul dengan meningkatnya utang luar negeri.
Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa negara membutuhkan pembiayaan eksternal melalui utang luar negeri untuk menutupi defisit anggaran, serta untuk mempersiapkan belanja pada awal tahun 2025 dan seterusnya.
Adapun belanja konsumsi pemerintah, belanja komoditas, belanja pegawai, bahkan belanja utang diperkirakan akan melebihi Rp 500 triliun pada tahun depan. Total rencana belanja dalam APBN sebesar 3621,3 triliun rupiah.
Menurut dia, besarnya pengeluaran dan cakupan utang disebabkan rendahnya tarif pajak selama ini.
“Jadi peningkatan ULN ini bukan lagi leverage, tapi justru bisa menghambat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (14/10/2024). Posisi utang luar negeri negara:
Sumber: SULNI
Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA