Bisnis.com, Jakarta – Serangan ransomware multi-pemerasan global akan tumbuh 49% year-on-year (y-o-y) pada tahun 2023. Di Indonesia, ransomware terutama menyasar perusahaan-perusahaan di sektor ritel, logistik transportasi, dan energi.
Dalam laporan yang dirilis Unit 42 Palo Alto Networks bertajuk Ransomware Retrospective 2024: Unit 42 Leak Site Analysis and Incident Response Report 2024, Lockbit 3.0 merupakan ransomware paling aktif secara global dan di grup produk Asia Pasifik.
“Dengan 928 postingan situs yang bocor, yaitu 23% dari total jumlah serangan global,” demikian laporan yang dikutip Bisnis, Kamis (5/9/2024).
Sedangkan di Indonesia, ALPHV (BlackCat) merupakan grup ransomware paling aktif. Setidaknya 25 situs kebocoran ransomware baru akan diamati pada tahun 2023.
Wakil Presiden Regional Palo Alto Networks ASEAN Steven Scheuerman berspekulasi bahwa hasil penelitian ini semakin menekankan pentingnya keamanan siber sebagai hal yang tidak dapat dinegosiasikan bagi bisnis dan organisasi untuk menjaga produktivitas dan daya saing.
“Konsekuensi dari tidak memprioritaskan keamanan siber bisa berakibat fatal dan merusak. Oleh karena itu, pemilik bisnis, apa pun industrinya, harus memprioritaskan keamanan jaringan dan koneksi rantai pasokan digital,” kata Scheuerman.
Khususnya dalam kasus Indonesia, tren menuju digitalisasi dikatakan sebagai faktor utama di balik meningkatnya minat pelaku kejahatan siber untuk meluncurkan operasi ransomware di sektor ritel, transportasi logistik, dan energi.
Adi Risli, country manager Palo Alto Networks di Indonesia, mengatakan para penjahat tidak akan pilih-pilih dan akan menargetkan target yang paling mudah dan mereka dapat memperoleh keuntungan paling banyak.
“Penting untuk dicatat bahwa tidak ada industri yang aman dari serangan,” kata Adi.
Dalam studi ini, Palo Alto Networks menyelidiki 3.998 unduhan dari situs-situs terobosan dari berbagai kelompok ransomware.
Sementara itu, situs kebocoran adalah platform bagi kelompok penjahat dunia maya untuk merilis data curian secara publik untuk memaksa korban kebocoran data membayar uang tebusan.
Selama setahun terakhir, rata-rata permintaan uang tebusan meningkat 3% per tahun dari US$650.000 (sekitar 10 miliar rupee) menjadi $695.000, sekitar 11 miliar rupee.
Namun, gaji rata-rata turun tajam sebesar 32% dari $350.000 (sekitar Rs 5.000 crore) menjadi $237.500 (sekitar Rs 3.500 crore).
Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh banyaknya organisasi yang menyertakan tim tanggap insiden yang memiliki kemampuan komunikasi.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel