Bisnis.com, JAKARTA – Pusat Kajian Ekonomi dan Hukum (Selios) menilai rencana Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memotong subsidi energi dan mengalihkan sistem distribusi subsidi BBM ke bantuan tunai harus direvisi.

Bhima Uddhisthira, Direktur Utama Celios, mengatakan peralihan skema subsidi BBM ke BLT membuat penerima BLT dan konsumen BBM bersubsidi tidak semuanya masuk dalam kategori miskin.

“Faktanya konsumen BBM bersubsidi juga merupakan kelas menengah yang lemah. “Saya sampaikan bahwa BBM bersubsidi tidak berada pada jalur yang tepat dan menyebabkan kelas menengah yang lebih lemah terbiasa membeli BBM bersubsidi,” kata Bhima saat dihubungi, Jumat (10/4/2024).

Oleh karena itu, meskipun BLT dirancang untuk menggantikan subsidi bahan bakar yang hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, Bhima khawatir bahwa penghapusan subsidi bahan bakar dapat mengakibatkan kemiskinan di kalangan kelas menengah yang lebih lemah karena mereka sebelumnya tidak diklasifikasikan sebagai miskin.  

“Kami khawatir daya beli akan melemah signifikan jika subsidi BBM dicabut,” ujarnya.

Meskipun ada pilihan lain, yaitu cakupan bahan bakar bersubsidi, Bhima berpendapat bahwa cakupan tanpa kompensasi finansial bagi kelas menengah yang rentan dapat menimbulkan masalah lain.

“Hal ini dapat menyebabkan bertambahnya penduduk miskin baru, berkurangnya konsumsi rumah tangga, pengangguran bahkan PHK di berbagai sektor perekonomian,” kata Bhima.

Diberitakan sebelumnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto periode 2024-2029 berencana memangkas subsidi energi dan mengalihkan sistem distribusi ke bantuan tunai.

Burhanuddin Abdullah, kepala penasihat ekonomi Prabowo, mengatakan pemerintahan baru dapat menghemat anggaran hingga 200 triliun melalui distribusi subsidi energi yang ditargetkan.

“Kami ingin meningkatkan informasi agar dana hibah dalam bentuk bantuan langsung tersalurkan kepada keluarga yang membutuhkan. “Kami akan melakukannya,” kata Burhanuddin kepada Reuters, Jumat (27 September 2024).

Menurut dia, Pemerintah mengalokasikan pos belanja sebanyak 3,621 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2025. Namun sebagian besar digunakan untuk membayar tagihan dan utang lainnya.

Oleh karena itu, menurut Burhanuddin, perlu adanya penambahan anggaran untuk membiayai program baru pemerintah

Untuk berita dan artikel lainnya, kunjungi Google Berita dan Saluran WA