Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan disebut akan memberikan tekanan pada industri kemasan dan turunannya. Pengusaha di industri ini juga memprotes pemerintah.

Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (IPF) Ariana Susanti mengatakan kebijakan ini akan mengurangi konsumsi masyarakat seiring dengan semakin mahalnya harga barang. 

“Beberapa asosiasi memprotes kebijakan ini, termasuk IPF karena waktunya tidak tepat,” kata Ariana kepada Bisnis, Rabu (20/11/2024). 

Penerapan PPN 12% akan meningkatkan biaya produksi dan berdampak pada peningkatan harga barang konsumsi. Dampaknya, industri ritel dan daya beli masyarakat akan semakin terpuruk.

Apalagi, menurut perhitungan Ariana, penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% tidak terlalu besar, hanya berkisar Rp 60 triliun – Rp 80 triliun, padahal dampaknya terhadap perdagangan dalam negeri sangat luas. 

“Pemerintah harus mewaspadai dampak jangka panjang yang akan menyebabkan melemahnya dunia usaha dan menurunnya daya beli masyarakat, termasuk banyaknya masyarakat kelas menengah hingga bawah karena banyak yang makan tabungan, seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir. bulan,” katanya. 

Ia juga meminta pemerintah mempertahankan PPN sebesar 11% karena industri dalam negeri belum bisa bertahan sepenuhnya di tengah menurunnya daya beli masyarakat dan gencarnya produk impor. 

Dalam hal ini, pihak menyiapkan harapan untuk mengatasi dampak kenaikan PPN, yakni dengan menurunkan biaya operasional perusahaan. 

“Termasuk pemberhentian pekerja jika diperlukan karena rendahnya pemanfaatan. Ini seperti efek domino, ujarnya. 

Ariana juga menyoroti dampak negatif kebijakan PPN 12% terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) karena mereka memiliki margin keuntungan yang lebih kecil dan sumber daya yang lebih sedikit untuk menyerap kenaikan biaya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel