Bisnis.com, Jakarta – Produktivitas manufaktur nasional kembali ke wilayah kontraksi untuk pertama kalinya dalam 3 tahun. Lemahnya pasar dan minimnya perlindungan terhadap impor produk hilir menarik perhatian.
Kondisi industri kontrak tercermin dari indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Indonesia yang turun 1,4 poin menjadi 49,3 pada Juli 2024 dari 50,7 pada bulan sebelumnya.
Managing Director Chelios Bhima Yudhishtra mengatakan, setidaknya ada dua faktor yang berkontribusi terhadap melemahnya PMI manufaktur. Hal ini menandakan bahwa industri pengolahan merupakan salah satu penggerak perekonomian dan memerlukan perhatian lebih dari negara kita.
“Ada kebutuhan mendesak untuk menggenjot impor barang jadi yang memiliki substitusi lokal, dan mendorong lebih banyak industri padat karya, khususnya tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki,” kata Bhima, Kamis (1/8/2024) kepada edisi Bisnis. )
Bhima menjelaskan, kontraksi PMI manufaktur disebabkan oleh inkonsistensi kebijakan impor barang jadi atau barang hilir. Juga dengan Peraturan Menteri (Permendag) Peraturan Final No. 2013. 8/2024 sebenarnya memberikan keringanan impor.
Pada tahap ini persaingan industri dalam negeri dengan barang impor semakin ketat. Sementara itu, permintaan konsumen lesu dan arus barang impor semakin meningkat.
Selain itu, tingkat produksi nasional juga mengalami tekanan, dan permintaan masyarakat kelas menengah khususnya di perkotaan mengalami penurunan akibat berbagai tekanan seperti kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan perumahan, serta tingginya bunga pinjaman. tarif.
Dampaknya, permintaan industri melambat, apalagi laju pertumbuhan musiman konsumsi rumah tangga hanya tinggal menunggu libur panjang Natal dan Tahun Baru. Oleh karena itu, pelaku usaha juga mengantisipasi hal tersebut dengan mengurangi pembelian bahan baku. dia berkata.
Selain itu, pemerintah juga mempengaruhi keputusan perluasan industri dalam periode sementara. Dalam konteks ini, Bhima menekankan pentingnya menjaga ekspektasi masyarakat terhadap alokasi APBN 2025 terkait bantuan sosial dan subsidi.
Pemerintahan ke depan juga diharapkan lebih banyak diisi oleh tenaga ahli di bidang bisnis, keuangan, dan investasi.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Economic Reforms (COR) Muhammad Faisal mengatakan ada berbagai faktor dari hulu hingga hilir yang menekan indeks PMI manufaktur saat ini.
“Di sisi hulu, biaya atau belanja produksi terus meningkat, dan di sisi hilir banyak terjadi pembatasan pasar dalam negeri dan ekspor,” jelasnya.
Faisal menjelaskan berdasarkan indeks harga produsen saat ini relatif tinggi dibandingkan indeks harga konsumen. Artinya, produsen berusaha menjaga agar harga tidak naik seiring naiknya biaya produksi.
Selain itu, terdapat permasalahan persaingan dengan barang impor tekstil, produk tekstil, sepatu, keramik dan produk industri lainnya.
“Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor manufaktur nasional. Kalau dulu indikator selain PMI negatif, sekarang PMI yang tadinya positif sekarang sudah masuk zona negatif,” tutupnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel