Bisnis.com, JAKARTA – Hewan ternak seperti ayam, ikan, dan sapi yang mendapat antibiotik dosis kecil dapat menimbulkan efek berbahaya bagi manusia yang mengonsumsinya.

Koordinator OHCC Udayana Ni Nyoman Sri Budayanti mengatakan, penggunaan antibiotik pada hewan ternak sangat berbahaya dan dapat berdampak pada manusia jika dikonsumsi oleh hewan ternak seperti ayam atau ikan. 

“Ayam berbagi bakteri. Jika bakteri tersebut terus-menerus terpapar antibiotik dalam dosis kecil, bakteri tersebut akan mengembangkan pertahanan sehingga menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. “Jika ayam yang kita makan terkontaminasi bakteri, maka bakteri tersebut dapat terinfeksi. Kami dan kalau dia tertular, belum ada obat yang bisa menyembuhkannya,” jelas Budayanti, Rabu (20/11/2024). 

Persoalan penggunaan antibiotik yang tepat harus lebih diperhatikan dan bila memungkinkan harus selalu ada upaya sosialisasi untuk mengedukasi masyarakat, seperti peran SAJAKA dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan resistensi antimikroba.

Desa Bijak Antibiotik atau SAJAKA merupakan program desa bijak antibiotik pertama yang didirikan oleh Universitas Udayana di Indonesia. Bekerja sama dengan Pfizer, SAJAKA didirikan sebagai inisiatif untuk memerangi AMR dan mengedukasi masyarakat tentang penggunaan antibiotik. 

Kelompok masyarakat sasaran SAJAKA meliputi ibu rumah tangga, anak sekolah, petugas kesehatan, dan pemilik pertanian. Program ini telah berjalan sejak tahun 2022 di empat desa yaitu Pejaten, Belalang, Niitdah dan Buvit dengan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan sebanyak 399 ibu rumah tangga, 419 siswa SD, 39 peternak, dan 82 tenaga kesehatan. 

Manik Saputra, mahasiswa PhD Universitas Udayana, mengatakan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat sejalan dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) yang utamanya merekomendasikan pengobatan antibiotik untuk diare, ISP, dan demam. Hal ini dikarenakan diare dan HIV tidak disebabkan oleh bakteri (kecuali diare yang disebabkan oleh bakteri). 

Manick juga mencatat bahwa penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menciptakan pandemi diam-diam yang dapat berdampak pada manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 

Efek jangka pendek yang ditimbulkan oleh antibiotik dapat berupa terjadinya resistensi antimikroba sehingga membuat seseorang sulit mendapatkan obat yang lebih kuat untuk melawan bakteri di dalam tubuh.

Saat ini, paparan jangka panjang berarti belum ada antibiotik yang dapat mengatasi bakteri dalam tubuh manusia. 

“Kecuali penyakit menular yang sulit diobati, saat ini belum ditemukan antibiotik lain, sehingga kecuali ditemukan antibiotik baru, tentu infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut tidak dapat disembuhkan,” jelas Manik, Rabu (20/11/2021). ) 2024)).

Manik menjelaskan bahwa antibiotik ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu dan resistensi telah berkembang pada saat itu. Saat ini, tidak ada antibiotik baru yang ditemukan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menimbulkan ancaman bagi generasi muda di masa depan, karena masyarakat khawatir tidak akan ada antibiotik yang efektif untuk mengatasi bakteri tersebut. 

Selain berfokus pada dampak antibiotik terhadap manusia, SAJAKA juga melakukan penelitian terkait dampak antibiotik terhadap hewan dan lingkungan. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar peternak memberikan antibiotik dalam jumlah kecil kepada hewan agar hewannya tumbuh lebih cepat. 

Sebagai bagian dari Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia, SAJAKA akan mempromosikan kegiatan SAJAKA untuk meningkatkan kesadaran penggunaan antibiotik di kalangan masyarakat. 

Dalam dunia kesehatan, penggunaan antibiotik sudah menjadi hal yang lumrah. Namun penggunaan berlebihan dapat menyebabkan resistensi antimikroba. 

Resistensi antimikroba atau AMR adalah suatu kondisi dimana bakteri atau virus di dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat. Hal ini biasanya disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak tepat. 

Menurut WHO, tercatat 700.000 kasus kematian akibat AMR setiap tahunnya, dan bahkan pada tahun 2019, terdapat 1,2 juta orang meninggal akibat AMR. Jika tidak dikendalikan, angka ini bisa meningkat menjadi 10 juta pada tahun 2050. (Jesslyn Samantha Rumiris Lumbantobing)

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA