Bisnis.com, JAKARTA – Meski menunjukkan tren yang sangat positif dalam mendukung pertumbuhan sektor keuangan di Indonesia, para ekonom UI menyoroti permasalahan pada instrumen dana investasi.

Peneliti Makroekonomi LPEM FEB UI Teuku Riefki mengatakan, jumlah investor reksa dana mencapai pertumbuhan tahunan sebesar 62% selama 2016-2023.

Ia menambahkan, selama periode tersebut, kekayaan bersih dana investasi meningkat rata-rata 9% setiap tahunnya, dan jumlah unit investasi yang beredar meningkat hampir 11%. Mendorong pertumbuhan reksa dana sebagai instrumen keuangan berpotensi mempercepat pendalaman sektor keuangan di Indonesia. Namun pertumbuhan reksa dana sebagai sarana investasi, khususnya reksa dana, menghadapi sejumlah tantangan, kata Riefki dalam keterangannya, Jumat (14/6/2024).

Ia terutama menjelaskan terbatasnya ruang bagi investor institusi untuk mengalokasikan dananya pada instrumen ekuitas, sehingga menyebabkan likuiditas relatif terbatas. Hal ini terkait dengan kewajiban lembaga pengelola dana, seperti badan pengelola jaminan sosial, dana pensiun, dan asuransi, untuk mengalokasikan persentase tertentu investasinya pada surat berharga negara (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 1/POJK.05/2016).

Idealnya, kebijakan alokasi aset menjadi keputusan investasi yang diambil oleh masing-masing lembaga berdasarkan perhitungan aktuaria. Pada saat yang sama, kehadiran instrumen berbasis utang dengan imbal hasil yang lebih aman seperti SRBI juga menimbulkan efek tekanan pada pasar saham.

Kedua, masalah terbatasnya likuiditas juga menghambat kinerja sektor swap yang baik. Dana diharapkan mengalir ke sektor-sektor yang memiliki fundamental baik dan valuasi menarik, dan proses ini akan terus berlanjut.

Dengan terbatasnya likuiditas, proses ini tidak akan berhasil dan hanya industri dengan kapitalisasi pasar besar, khususnya perbankan, yang menjadi target aliran likuiditas yang sehat.

Ketiga, secara makro, kinerja perekonomian Indonesia sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%. Namun, situasi ini mencerminkan kinerja yang mengarah pada stabilitas pertumbuhan.

Situasi ini tidak sepenuhnya sesuai dengan persepsi pemegang saham yang lebih menginginkan pertumbuhan daripada stabilitas, yang tercermin pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan laba emiten (EPS growth).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel