Bisnis.com, Jakarta – Dalam beberapa pekan terakhir, gelombang keresahan kembali datang dari dunia tekstil dalam negeri.

Sebab beredar kabar banyak perusahaan tekstil yang berencana dan/atau sudah menutup pabriknya. Lainnya, demi efisiensi usaha, mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Akibatnya, gelombang PHK menjadi ancaman serius bagi sektor pekerjaan rumah tangga. Sebab, industri tekstil merupakan industri yang sangat padat karya.

Berdasarkan catatan BPS (2023), proporsi tenaga kerja yang terserap pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) akan mencapai 2,82% dari total industri manufaktur pada tahun 2022.

Sementara pada Agustus 2021, jumlah tenaga kerja yang bergantung pada 13 subsektor industri TPT mencapai 1,13 juta orang. Kemudian menurun menjadi 1,08 juta orang pada Agustus 2021. Pemicunya

Tren penurunan kinerja industri TPT nasional terus berlanjut. Bahkan, berdasarkan laporan KSPN (2024), setidaknya ada 6 perusahaan TPT yang memutuskan tidak beroperasi secara permanen pada pertengahan Januari hingga awal Juni 2024.

Sementara itu, 4 perusahaan TPT lainnya menerapkan kebijakan efisiensi dengan merumahkan ratusan pekerja sehingga total pekerja industri TPT pada Januari-Juni 2024 berjumlah 13.800 orang.

Keputusan PHK massal yang dilakukan oleh begitu banyak perusahaan dalam kurun waktu sesingkat itu tentu bukan merupakan fenomena biasa. Artinya buruknya kinerja industri TPT bukan hanya disebabkan oleh faktor internal dalam perusahaan saja.

Namun banyak faktor eksternal yang menyebabkan banyak perusahaan TPT di Tanah Air bangkrut. Termasuk pula pabrik tekstil raksasa sekelas PT Sri Rejeki Isman TBK. (Shritex).

Dalam kasus Sritex, pihaknya sudah beberapa waktu menghadapi masalah likuiditas (kesulitan keuangan) yang bisa mengancam kebangkrutan. Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan September 2023, total kekayaan bersih Sritex tercatat negatif.

Pembatasan pemerintah, derasnya arus impor TPT, predatory pricing dan persaingan yang semakin ketat di pasar internasional juga turut memperburuk kinerja keuangan Sritex. Merujuk pada situasi tersebut, setidaknya ada beberapa faktor yang melemahkan kinerja industri TPT nasional.

Pertama, pembatasan pemerintah yang memudahkan masuknya produk TPT impor. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no. UU Nomor 8 Tahun 2024 dinilai memberikan keleluasaan lebih besar bagi masuknya produk TPT impor dibandingkan peraturan menteri niaga sebelumnya.

Sebab, aturan terbaru memuat klausul yang menyederhanakan persyaratan proses pelepasan peti kemas. Berdasarkan aturan tersebut, pengeluaran peti kemas kargo impor didasarkan pada laporan surveyor.

Oleh karena itu, ada kekhawatiran pasar lokal akan dibanjiri produk impor akibat pengecualian tersebut. Sebab diperkirakan sekitar 4000 kontainer TPT akan mencapai pasar nasional dalam waktu dekat.

Masuknya produk tekstil impor secara ilegal memperburuk situasi. Diperkirakan terdapat sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal setiap tahunnya, dengan nilai sekitar $2,95 miliar.

Alhasil, pasokan TPT impor legal dan ilegal mendominasi pasar TPT Indonesia, yakni mencapai 41% dari total konsumsi TPT nasional. Hal ini tentu menjadi alarm bagi para pemangku kepentingan, khususnya 20 Kementerian/Lembaga yang terlibat.

Kedua, persaingan usaha yang tidak sehat. Apalagi jika menyangkut persaingan harga antara produk impor dan produk lokal. Turunnya harga TPT impor karena menerapkan taktik komersial predatory pricing, yaitu menjual barang dengan harga di bawah harga yang pantas (standar), bahkan dengan cara yang tidak masuk akal.

Tujuan predatory pricing biasanya dilakukan untuk cepat menguasai pasar (monopoli). Selain itu, terdapat permasalahan produk impor ilegal yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan produk lokal.

Harga barang impor ilegal akan diturunkan karena penghindaran pajak dan bea masuk. Tak pelak, situasi ini tidak hanya berdampak pada industri tekstil skala besar, namun juga industri artisanal dan industri TPT skala kecil dan menengah.

Ketiga, perekonomian nasional dan global kurang baik. Melemahnya nilai tukar rupee terhadap dolar AS menyebabkan kenaikan harga bahan baku tekstil impor (lokal). Selain itu, pasar ekspor menjadi lebih kompetitif dan muncul fenomena perubahan pengeluaran (expenditure Preference) di negara tujuan ekspor.

Selain itu, tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI) juga menghambat laju pertumbuhan kredit sektor konstruksi. Akibatnya ekspansi bisnis menjadi sangat terbatas, sementara beban utang dan bunga membebani perusahaan. Sebagaimana dicanangkan pemerintah, sektor tekstil merupakan salah satu dari lima industri manufaktur prioritas yang tercantum dalam Peta Jalan Making Indonesia 4.0. Peta jalan tersebut diharapkan dapat merevitalisasi industri manufaktur dalam negeri agar lebih berdaya saing global di era digital.

Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk menjamin keamanan industri TPT nasional. Termasuk menyusun peraturan yang membatasi masuknya barang TPT yang diimpor sebagai bentuk perlindungan sementara. Perlindungan (regulasi) diperlukan hingga industri TPT nasional benar-benar kuat dan berdaya saing tinggi di tingkat global.

Dalam hal ini, industri TPT nasional juga perlu melakukan reinvestasi terhadap mesin-mesin produksi yang berteknologi maju dan secepatnya beradaptasi dengan era digitalisasi.

Terakhir, dalam persaingan usaha TPT diperlukan penerapan hukum yang tegas, sehingga persaingan usaha diharapkan berjalan berdasarkan prinsip keadilan dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Canal WA