Bisnis.com, Jakarta – Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2024 akan menambah tanggung jawab Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dalam memajukan perkebunan kakao dan kelapa.

Fungsi tambahan Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan RI akan dilaksanakan dengan membentuk perwakilan baru seperti sub kakao dan kelapa.

Para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit menyuarakan protes mereka karena tidak jelas bagaimana tatanan baru ini akan dibayar.

Saat ini amanah pengelolaan dana sawit di BPDP-KS adalah “dari sawit, ke sawit”, sehingga pengembangan kakao dan kelapa menggunakan dana dana sawit yang terpisah dari pajak ekspor sawit.

Peraturan baru ini bertujuan untuk menstandardisasi pengelolaan sektor kehutanan dan perkebunan Malaysia yang efektif, menjadikan sektor perkebunan Indonesia sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia yang berkelanjutan dan untuk menyelesaikan permasalahan organisasi dan perizinan terkait.

Hampir 100 tahun yang lalu, Hindia Belanda merupakan raja perkebunan dunia. Produksi gula kita adalah yang terbesar kedua di dunia. Saat ini produksi gula kita bahkan belum masuk sepuluh besar.

Begitu pula dengan hasil perkebunan lainnya seperti kopi, teh, dan tembakau yang menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda dan menjadi penggerak pertumbuhan sektor dan wilayah lain. Misalnya saja industri kereta api yang dikembangkan untuk mengangkut hasil pertanian di Jawa Tengah.

Saat ini Indonesia hanya bisa membanggakan kelapa sawit. Minyak sawit Indonesia telah melampaui produksi Malaysia sejak tahun 2006 dan kini menguasai 60% produksi minyak sawit dan 40% produksi minyak nabati global.

Kopra (dari kelapa) dan karet merupakan produsen terbesar kedua di dunia. Produksi kopi nomor empat. Meski jumlah perokok menempati urutan keempat, namun konsumsi tembakau kita sangat rendah.

Oleh karena itu, pada tahun 2015 pemerintah membentuk BPDP yang diberi mandat untuk mengembangkan tujuh industri yang memiliki kemampuan menanam, yaitu kelapa sawit, kelapa, kakao, karet, kopi, tembakau, dan tebu.

Tebu sebenarnya sudah dibicarakan untuk mengendalikan BPDP setelah sawit, namun belum ada penjelasannya. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 24 Tahun 2015 tentang penghimpunan dana tanaman, dengan amanat khusus untuk mengembangkan tanaman panjat dan tanaman panjat, bukan tanaman rempah atau pangan.

Sejak saat itu, ekosistem kelapa sawit telah aktif dalam penelitian, pendidikan, regenerasi minyak kelapa sawit kecil dan penurunan produk pangan, oleokimia dan energi.

Ekspor terus tumbuh dan saat ini menjadi tiga besar penghasil devisa, dan tetap berada di posisi teratas. Dengan demikian, pendapatan sawit dapat dihasilkan dan dipulangkan untuk kegiatan ekspor guna memperkuat industri sawit.

Kisah sukses ini mendasari keputusan BPDP untuk memperluas mandatnya untuk membiayai rehabilitasi tanaman pangan lainnya.

Untuk itu, banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan industri kehutanan dan perkebunan, permasalahan pertanahan, pembiayaan, dan mendorong kembalinya kejayaan perkebunan Indonesia.

Pertama, pembentukan Kementerian Kehutanan dan Pertamanan. Malaysia belajar dari Indonesia pada tahun 70an dan membentuk Kementerian Pertanian dan Komoditas, yang mengelola perkebunan di utara dan selatan: kelapa sawit, sagu, kayu dan furnitur, tembakau, kenaf, karet, jarak pagar, coklat, lada dan biofuel. Malaysia telah membagi Kementerian Pangan dan Kebun, Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meningkatkan kontribusi ekonomi sektor pertanian dan kehutanan kepada masyarakat dan negara.

Menariknya, industri kayu dan mebel termasuk dalam Departemen Pertanian, karena perkebunan dianggap sebagai kegiatan pertanian/ekonomi. Sementara itu, upaya konservasi hutan (seperti kawasan lindung, taman nasional, dan lain-lain) berada dalam batas ekosistem.

Konsep ini pernah diadopsi Indonesia pada masa Presiden Habibi dan Abdurrahman Wahid, yakni Kementerian Kehutanan dan Perkebunan. Hutan ini menguasai kegiatan ekonomi hutan dan pepohonan yang merupakan tanaman terestrial seperti hutan produksi (HP) dan hutan tanaman industri (HTI).

Kedua, perbaikan tata kelola industri sawit yang menjadi topik rapat terbatas Presiden pada 9 Juli lalu. Permasalahan utama dalam hal ini adalah lahan antara perkebunan sawit dan hutan yang belum terselesaikan. pada akhir tahun 2023.

Solusi sukses seperti Pelajaran dari Malaysia adalah kegiatan ekonomi hutan yang diatur dalam UU No. Pada tanggal 20/2007, Penataan Ruang yang merupakan kegiatan pertanian tetap dianggap sebagai kegiatan pertanian.

Hal ini dapat dilakukan dengan memadukan kegiatan pengelolaan dengan kawasan budidaya dan perkebunan HP dan HTI, sesuai UU Perencanaan Pertanahan. Untuk itu diperlukan suatu badan perencanaan nasional yang menggabungkan kerja perencanaan Departemen Kehutanan dan Kementerian Pertanian dan Tata Ruang. Pada tahun 2019, Departemen menggabungkan fungsi Penataan Ruang BPN dengan Kementerian Perencanaan Pekerjaan Umum.

Ketiga, mendorong masuknya perubahan iklim dengan membentuk Departemen Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup. Bagian ini membahas tentang perubahan iklim, konservasi dan kawasan lindung serta lingkungan hidup. Sasarannya adalah mengurangi karbon pada tahun 2030 dan net zero pada tahun 2060, dengan konservasi dan pengelolaan setidaknya 40%-50% luas daratan Indonesia, turun dari kurang dari 30% saat ini.

Keempat, pengelolaan keuangan pertanian dan kehutanan. Perusahaan ini memiliki modal awal yang besar, sekitar Rp30 triliun, yang mencakup anggaran dana sawit yang dikelola BPDP-KS. Subsidi kehutanan sebesar 2 triliun untuk meningkatkan kinerja hutan produktif.

Rehabilitasi Kakao dan Pengembangan Kebun Kelapa serta rehabilitasi kebun kecil kakao dan kelapa, dibiayai dengan cara ekspor atau ekspor dan rekening tersendiri pada Palm Oil Fund.

Sejauh ini kontribusi ekspor sektor tanaman cukup tinggi dan akan mencapai sekitar USD 50 miliar pada tahun 2023, dimana 70% diantaranya berasal dari minyak sawit. Lebih besar dibandingkan sektor migas yang sudah menjadi eksportir. Diperlukan pelatihan yang optimal untuk memberikan kontribusi yang signifikan.

Dengan cara ini, pemerintahan baru akan mampu bergerak maju menuju Indonesia yang stabil dan stabil dengan secara diam-diam memajukan rencana pembangunan sektor tanaman dan kegiatan ekonomi kehutanan, untuk memecahkan masalah kepadatan hutan dan perkebunan yang berlebihan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel