Bisnis.com, JAKARTA – Akhir-akhir ini tak ada hari tanpa pemberitaan mengenai impor TPT (tekstil dan tekstil) murah dari China yang berdampak besar terhadap keberlangsungan industri TPT nasional.

Dampaknya antara lain menurunnya produksi dan pendapatan industri lokal karena kalah bersaing dengan harga produk impor yang murah, dan pada akhirnya menurunnya penggunaan kapasitas pabrik, masyarakat awam bahkan penutupan pabrik.

Kemudian bicara tentang Pemerintah yang mengenakan bea masuk hingga 200% pada produk bambu impor untuk melindungi industri lokal.

Bagaimana kita mengatasi perkembangan ini dalam skala yang lebih besar? Apakah ada cara untuk mengatasi masalah ini dengan memberikan beban yang lebih berat?

Tarif impor yang tinggi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap daya saing suatu industri dalam negeri. Dampak positifnya adalah memberikan perlindungan terhadap persaingan luar negeri dengan cara menaikkan harga barang luar negeri sehingga tidak berdaya saing di pasar dalam negeri, sehingga membantu industri dalam negeri untuk mempertahankan pasarnya. Fungsi-fungsi penting juga menghasilkan pendapatan pemerintah yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

Namun dampak negatif yang paling besar dari penerapan tarif adalah beban konsumen berupa harga dan kualitas terbaik, yang belum tentu terbaik, dan berujung pada penurunan belanja konsumen dan perlambatan siklus perekonomian dalam negeri. .

Kemungkinan ini sangat mengkhawatirkan di tengah menurunnya daya beli masyarakat belakangan ini. Tarif yang tinggi juga menyebabkan kegagalan perekonomian nasional karena menciptakan situasi di mana perusahaan lokal dapat memasarkan dengan harga tinggi dan beragam tanpa persaingan dengan produk impor yang lebih murah dan kualitasnya lebih baik.

Hal ini tidak hanya menyebabkan berkurangnya inovasi dalam industri, tetapi juga berkurangnya pilihan bagi konsumen dalam negeri dan insentif bagi mereka yang dapat membeli lebih murah di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.

Dalam konteks pembicaraan penerapan tarif terhadap produk TPT terbesar asal China, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan Pemerintah. Pertama, Indonesia dan Tiongkok terikat oleh Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok (ACFTA) yang berlaku sejak tahun 2010.

Perjanjian yang menghapuskan 94,6% pajak ekspor dari Indonesia ke Tiongkok ini juga mengenakan pajak preferensi terhadap impor tekstil dari Tiongkok ke Indonesia sebesar 0%-5% untuk bahan baku tekstil (katun, pewarna dan bahan kimia), produk tekstil (pakaian, dan lain-lain). dan tas serta aksesoris di rumah) dan mesin.

Tujuan pemerintah Indonesia berbagi bisnis dengan anggota ASEAN lainnya sejak tahun 2001 adalah untuk meningkatkan kemampuan industri TPT nasional dalam bersaing dengan barang impor dan membuka akses pasar ke Tiongkok. Kenaikan tarif sepihak sebagai bagian dari negosiasi ini dapat dipastikan akan mengundang reaksi keras dari anggota lainnya.

Kedua, kemungkinan tanggapan Beijing bisa sangat beragam, mulai dari yang lebih lunak dalam bentuk tuntutan hingga yang lebih keras dalam menyatakan tindakan tersebut. Penanggulangannya dapat berupa keringanan tambahan dan hambatan non-pengabaian, seperti tarif, izin, standar teknis dan larangan/pembatasan ekspor ke Indonesia dan impor dari Indonesia.

Langkah ini dapat digunakan untuk berbagai produk yang bermanfaat bagi Indonesia dan tidak hanya untuk produk sejenis yang terkena larangan/pembatasan dari Indonesia.

Akibat ketiga dari pembatasan perdagangan tersebut akan berdampak negatif terhadap kelancaran ekspor Indonesia ke Tiongkok yang saat ini menjadi pusat ekspor utama Indonesia menggantikan pasar Indonesia seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Berdasarkan sensus Tiongkok, Tiongkok kini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$64,94 miliar pada tahun 2023, atau 25,09% dari total ekspor Indonesia dunia.

Selain itu, pembatasan perdagangan kedua belah pihak akan berdampak langsung pada industri nasional yang fokus pada ekspor, yang bahan bakunya didatangkan dari Tiongkok dengan harga bersaing. Hal ini dapat menurunkan daya saing Indonesia di pasar internasional, karena ekspor menurun dan peluang berkurang.

Keempat, studi Bank Dunia pada tahun 2019 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara tarif tinggi dan peningkatan biaya impor, penurunan konsumsi domestik, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan penyelundupan.

Dengan informasi di atas, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang murah luar negeri? Pertama, Pemerintah melalui Komite Perdagangan Indonesia (KPPI) dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dapat menyiapkan instrumen hukum berupa Perlindungan Tarif Impor (BMTP) untuk melindungi industri TPT dari kenaikan tarif impor atau Bea Masuk Anti Dumping ( BMAD) untuk menghentikan praktik dumping Tiongkok (melalui proses verifikasi sesuai kesepakatan di WTO).

Kedua, memperbarui kebijakan renovasi mesin industri dan relaksasi pajak untuk membantu meningkatkan efisiensi industri TPT nasional melalui penurunan biaya produksi dan peningkatan keuntungan. Ketiga, mari kita segera mengkaji perangkat kepatuhan teknis impor dan adaptasi peraturan TPT impor dan terkait produksi TPT.

Keempat, memperketat standar pelaksanaan Amanat Nasional RI untuk mencegah beredarnya produk di bawah standar. Kelima, meningkatkan pelatihan vokasi, pendidikan keterampilan dan program peningkatan keterampilan pekerja di sektor ini, sehingga dapat merespon perubahan permintaan pasar dan penggunaan teknologi baru, termasuk kecerdasan buatan.

Keenam, memperkuat program yang mendukung konsumsi tekstil dalam negeri, seperti “Bangga Buatan Indonesia”. Hal ini dapat membantu meningkatkan permintaan pakaian dalam negeri dan mengurangi kecenderungan terhadap barang-barang mewah.

Terakhir, meningkatkan pengawasan dalam upaya pencegahan BMAD dan BMTP, impor ilegal dan impor paralel.

Intinya adalah bahwa penerapan tarif secara sepihak mungkin memberikan perlindungan sementara bagi industri dalam negeri, namun hal ini juga kemungkinan akan menyebabkan perselisihan dagang dengan Tiongkok, serta risiko menciptakan lingkungan yang tidak efisien dan mengurangi persaingan. waktu

Penting bagi Pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara upaya melindungi industri dalam negeri, kewajiban internasional yang mengikat secara hukum, menjaga perekonomian yang kompetitif, dan menjaga akses terhadap kebutuhan utama konsumen.

Langkah-langkah aksi yang diusulkan di atas diharapkan dapat melindungi industri TPT dalam negeri, memperkuat daya saing industri dan mendukung stabilitas perekonomian Indonesia dalam menghadapi tantangan internasional.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel