Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) kembali melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) September 2024 mengalami deflasi bulanan sebesar 0,12%. Ini merupakan deflasi bulan kelima berturut-turut sejak Mei 2024.

Sementara itu, S&P Global juga merilis data PMI manufaktur Indonesia September 2024 yang mengalami kontraksi menjadi 49,2 – namun memperpanjang tren kontraksi hingga tiga bulan berturut-turut (Business Indonesia, 2 Oktober 2024).

Di tengah kondisi perekonomian yang buruk seperti terlihat pada data di atas, apakah realistis bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan PDB sebesar 6% pada tahun 2025? Pertanyaan ini menarik untuk dibahas, karena pencapaian pertumbuhan ekonomi 6% pada tahun pertama pemerintahan merupakan tahap percobaan yang dipertaruhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang dijanjikan presiden terpilih.

Berdasarkan perkiraan Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun 2024 akan berada pada kisaran 4,7%-5,5%. Sementara pada tahun 2025 terjadi sedikit peningkatan yaitu menjadi 4,8%-5,6%.

Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan tidak akan sebesar 6%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi mencapai 6% jika stimulus fiskal terus dipertahankan dan landasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sudah terbangun dengan baik. Politik

Tantangan utama yang dihadapi tim ekonomi Prabowo bukan hanya bagaimana mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 6%-8%, namun yang lebih penting adalah bagaimana mempertahankan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi pada level yang dijanjikan.

Artinya, fokus tim ekonomi Prabowo tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, namun yang lebih penting adalah memastikan pertumbuhan ekonomi yang dicapai dapat berkelanjutan. Secara umum kebijakan yang harus dikembangkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan adalah:

Pertama, kebijakan keuangan kita harus dikembangkan secara lebih luas. Secara teori kita mengetahui bahwa dana publik mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: alokasi, distribusi, dan stabilitas.

Fungsi alokasi erat kaitannya dengan peran anggaran untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemasaran usaha ke arah yang lebih baik. Sedangkan fungsi distribusi diperlukan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan, baik antar kelompok pendapatan maupun antar daerah.

Pada saat yang sama, peran stabilisasi keuangan publik harus diperkuat sebagai shock absorber yang dapat memitigasi berbagai gangguan sosial dan ekonomi yang timbul akibat guncangan dan perubahan. Kebijakan fiskal yang setengah hati tentu tidak akan menjamin tren perkembangan pertumbuhan ekonomi dapat terus meningkat.

Pembiayaan publik perlu diperkuat perannya agar dapat berperan sebagai penyangga dan meredam guncangan ketika kondisi perekonomian berfluktuasi. Keuangan publik harus mampu mendukung proses transformasi ekonomi guna mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiskal yang dirumuskan harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, sistem regulasi yang sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, kebijakan moneter yang mendukung pengembangan sektor riil dan meningkatkan daya beli masyarakat. Tujuan kebijakan moneter adalah untuk mencapai keseimbangan nasional dan mencapai tujuan makroekonomi, seperti menjaga stabilitas perekonomian melalui kesempatan kerja, stabilitas harga dan neraca pembayaran, serta stabilitas nilai mata uang.

Dalam konteks ini, keputusan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan merupakan salah satu contoh kebijakan yang berada pada jalur yang tepat.

Secara global, kita tahu bahwa The Fed juga memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya. Federal Reserve mau tidak mau harus menurunkan suku bunga acuannya, seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran di Amerika Serikat belakangan ini.

Menurut perkiraan, pengangguran di Amerika Serikat akan semakin tinggi dalam beberapa bulan mendatang, sehingga untuk mendorong perkembangan dunia usaha, kemungkinan penurunan kembali Fed Fund Rate (FFR) tentunya akan lebih besar dan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Diperkirakan suku bunga acuan AS akan dipangkas sebanyak tiga kali pada tahun 2024 dan empat kali pada tahun 2025.

Penurunan suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral, baik langsung maupun tidak langsung, akan mendorong peningkatan aliran modal ke negara berkembang, seiring dengan peningkatan konsentrasi aliran modal ke aset jangka panjang, seperti obligasi.

Kondisi perekonomian internasional seperti ini tentunya akan menyebabkan aliran modal asing ke Indonesia meningkat dan nilai tukar rupiah menguat antara Rp15.120-15.200 per dolar AS.

Berbeda dengan kebijakan moneter sebelumnya yang cenderung mengedepankan stabilitas, Bank Indonesia lebih memilih mengambil langkah yang lebih progresif, yakni dengan melakukan kebijakan moneter yang lebih progresif. menurunkan BI rate dengan tujuan mendorong pertumbuhan dan menjaga stabilitas.

Harapannya tentu saja keputusan BI menurunkan suku bunga BI akan diikuti dengan penurunan suku bunga di pasar keuangan, kemudian juga di perbankan, sehingga pada akhirnya akan mendorong pembelian kredit dan juga mendukung keberlanjutan. pertumbuhan ekonomi. Pengurangan

Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan kerap menyampaikan bahwa hilirisasi merupakan basis baru perekonomian Indonesia dan landasan untuk menjadi negara industri maju.

Pertama, yang perlu dilakukan adalah memperluas produk-produk yang dibuat hilirisasi. Pengembangan sektor pertambangan tidak hanya terbatas pada nikel saja, tetapi juga produk lain, misalnya tembaga, alumunium, bahkan produk nontambang lainnya. Produk mentah yang berasal dari tanaman, pertanian, dan perikanan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan industri pengolahan juga harus dikembangkan.

Kedua adalah promosi bahan baku yang dikembangkan. Untuk memperkuat program hilir, pemerintah perlu melakukan pendalaman atau penguatan. Saat ini hilirisasi nikel misalnya, biasanya baru pada tahap awal peleburan, yakni dengan mengolah bijih nikel menjadi paduan nikel dan feronikel. Kedua produk olahan ini masih dalam tahap awal pengolahan.

Dalam kondisi seperti itu, nilai tambah yang dihasilkan produk olahan nikel masih minim, meski ada peningkatan dibandingkan hanya mengekspor bijih nikel.

Hilirisasi tidak hanya berhasil menciptakan sumber pertumbuhan baru di luar Pulau Jawa. Namun kita tahu bahwa peningkatan besar kinerja ekspor Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh produk hilir, khususnya nikel dan CPO.

Persoalannya kini, di balik kemajuan ekspor Indonesia yang didukung program hilirisasi, yang perlu dibenahi adalah bagaimana hilirisasi tidak lebih menguntungkan investor atau pemodal.

Jangan sampai hal ini terjadi, karena agenda hilir, eksploitasi sumber daya alam kita menjadi tidak terkendali, padahal yang lebih diuntungkan adalah negara pengekspor dibandingkan masyarakat lokal asal kekayaan sumber daya alam tersebut.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel