Bisnis.com, JAKARTA – Di era emas Indonesia tahun 2045, produksi minyak sawit diperkirakan mencapai 100 juta ton dan menjadi titik balik utama penyiapan pangan dan energi.

Tidak ada salahnya menetapkan tujuan ambisius seperti itu. Namun, jika tujuan besar tersebut tidak ditempuh dengan kebijakan dan upaya khusus untuk mencapainya, maka hal tersebut hanya akan menjadi mimpi yang tidak dapat diwujudkan.

Artikel ini menganalisis tantangan ekonomi yang dihadapi oleh sektor kelapa sawit, yang tampaknya menjadi semakin kompleks karena tidak adanya organisasi yang dapat diandalkan untuk mendefinisikan dan memecahkan tantangan-tantangan besar ini. Kesimpulan dari artikel ini adalah sebuah panduan atau langkah konkrit untuk menyelamatkan industri kelapa sawit Indonesia.

Luas lahan sawit pada tahun 2023 adalah 16,83 juta hektar (ha), meliputi perkebunan masyarakat 6,30 juta ha, perkebunan swasta 8,43 juta ha, dan perkebunan negara 0,57 juta ha, serta lahan yang disetujui (LAD). ) 1,53 juta hektar. Produksi minyak sawit (CPO) pada tahun 2023 mencapai 48,34 juta ton yang terdiri dari perkebunan rakyat sebesar 16,27 juta ton, perkebunan swasta sebesar 29,51 juta ton, dan perkebunan swasta sebesar 2,45 juta ton. Semua data di atas berasal dari data pertanian Kementerian Pertanian.

Data produksi kelapa sawit Indonesia dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) nampaknya lebih tinggi. Dilaporkan total produksi minyak sawit pada tahun 2023 mencapai 54,85 ​​juta ton, termasuk 50,07 juta ton CPO dan minyak sawit. PKO) 4,78 juta ton.

Gapki juga melaporkan ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 32,21 juta ton pada tahun 2023, sedangkan sisanya sebesar 22,23 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Konsumsi minyak sawit di pasar dalam negeri meliputi pangan sebesar 10,30 juta ton, oleokimia sebesar 2,27 juta ton, dan biodiesel sebesar 10,65 juta ton. Meningkatnya permintaan minyak sawit untuk memproduksi biodiesel merupakan dampak dari penerapan kebijakan transisi energi melalui program B-35 di Indonesia dengan menggunakan energi baru dan terbarukan.

Perubahan kebijakan untuk mengakomodasi transisi energi, misalnya melalui program B-40, justru berdampak pada perubahan produksi minyak sawit dalam negeri. Harga CPO dan PKO serta harga minyak nabati di pasar dalam negeri dipastikan perlahan tapi pasti akan meningkat. Ini adalah tiga tantangan besar bagi industri kelapa sawit yang memerlukan identifikasi dan pencarian solusi yang tepat.

Pertama, produksi minyak sawit sangat rendah baik di perkebunan skala kecil maupun skala besar milik swasta dan negara. Hasil buah segar (TBS) sangat rendah yaitu kebun buah-buahan 12,5 ton/ha dan kebun swasta luas 17,5 ton/ha. Nilai tersebut sangat rendah atau jauh dari pencapaian hasil maksimal yaitu 30 ton/ha.

Produksi CPO masih rendah, yaitu 3,43 ton/ha di perkebunan rakyat dan 4,45 ton/ha di perkebunan swasta besar. Nilai ini jauh di bawah potensi produksi CPO sebesar 8 ton/ha. Sebagian besar perkebunan minyak di negara ini dan bahkan perkebunan swasta besar tidak menerapkan praktik pertanian dasar (GAP) karena pengelolaan lahan sangat bervariasi.

Kedua, regenerasi kelapa sawit, khususnya regenerasi kelapa sawit (PSR), berjalan sangat lambat sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di lapangan. Rendahnya kinerja PSR seperti disebutkan di atas berkontribusi pada rendahnya produksi minyak sawit Indonesia. Dari sekitar 6,94 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki petani, 1,36 juta hektar (20%) merupakan tanaman berumur (>25 tahun) yang memerlukan regenerasi. Luas perkebunan kelapa sawit kecil dengan pohon berumur (4-25 tahun) mencapai 3,94 juta ha, dan luas perkebunan kelapa sawit dan pohon kecil (<4 tahun) tercatat 1,64 juta ha (24%). ).

Pemerintah memperkirakan PSR pada akhir tahun 2024 adalah 500.000 ha (37%) dari luas perkebunan yang akan diperbarui. Namun hingga akhir tahun 2023, realisasi penyaluran dana PSR hanya seluas 53.012 ha atau jauh dari target. Pengelolaan kelapa sawit yang sudah ada di hutan tidak sepenuhnya jelas baik bagi petani kelapa sawit maupun petani skala besar.

Program percepatan PSR ini menggunakan sistem kemitraan dengan banyak pihak swasta yang luasnya mencapai 3.600 ha, karena adanya tafsir agama terhadap banyak ketentuan dalam Perpres Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Memaksimalkan Pendapatan Negara.

Ketiga: Pemberlakuan Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan, khususnya terkait dengan “sanksi administratif” dan sanksi “hingga izin usaha”.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), 2,45 juta hektare perkebunan kelapa sawit telah dinyatakan sebagai hutan. Sekitar 2,13 juta hektar lahan terdaftar dikelola oleh 2.128 perusahaan kelapa sawit.

Berdasarkan catatan Gapki, terdapat 569 perusahaan pemilik lahan seluas 810.435 hektare yang dikenakan sanksi Pasal 110A dan 110B di atas. Sejumlah perusahaan atau 365 kasus hukum dengan total luas sekitar 600 hektare telah menerima tagihan Pasal 110A dengan denda pembayaran Tindakan Restorasi Sumber Daya Hutan Hutan (PSDH-DR) berkisar antara Rp1 juta hingga Rp6,5 juta per hektar. Beberapa perusahaan menerima tagihan Pasal 110B dan denda lebih dari Rp 120 juta per hektar. Ada kemungkinan perusahaan sawit ini akan gulung tikar sehingga membahayakan kelangsungan produksi sawit.

Upaya penyelesaian “kelestarian” areal kelapa sawit di dalam hutan atau yang disebut dengan “rencana perbaikan” berdasarkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan masih belum banyak dipahami oleh pihak swasta dan masyarakat.

Menyelamatkan industri kelapa sawit dapat dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, meningkatkan produksi minyak, khususnya produksi minyak skala kecil, melalui subsidi yang memadai kepada petani minyak; dan keempat, dengan menciptakan insentif untuk memperoleh pendanaan dan teknologi produksi yang lebih baik;

Langkah terpenting ini dapat membantu menyelamatkan seluruh industri kelapa sawit dari atas hingga bawah. Rencana pencapaian produksi CPO hingga 100 juta ton pada tahun 2045 harus terpetakan dengan lebih baik dan menyelesaikan permasalahan di laut.

Kedua, percepatan program PSR melalui kemitraan dengan menciptakan insentif dan peraturan perundang-undangan khususnya pada pihak swasta yang bermitra dengan petani dalam pelaksanaan PSR.

Memfasilitasi proses mendapatkan saran teknis dari Dinas Pertanian bagi petani kelapa sawit dan perusahaan swasta mengenai status areal sawit yang belum ada di dalam hutan atau Sertifikat Hak Guna (HGU).

Ketiga, meningkatkan kepastian hukum bagi dunia usaha atau perusahaan swasta yang telah memiliki Sertifikat Hak Cipta (SHM) dan HGU kelapa sawit. Ketentuan SHM dan HGU diatur dalam UUPA 5/1960 tentang Pokok-pokok Pertanian dan konstitusinya.

Untuk berita dan artikel lainnya, kunjungi Google Berita dan WA Channel