Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah kebangkitan dolar yang terus mendominasi perdagangan dunia, inisiatif BRICS untuk mendorong pelemahan dolar memberikan perspektif baru terhadap arah pembayaran global. Saat ini, lebih dari 80% perdagangan dunia masih dalam mata uang dolar AS, dan juga menjadi mata uang cadangan negara lain.

Pengaruh dolar tidak hanya menjadi sumber kekuatan ekonomi Amerika Serikat, namun juga menimbulkan ketergantungan terhadap kebijakan ekonomi dan politik Amerika yang terkadang menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang.

Sebagai negara ASEAN yang strategis, Indonesia baru saja mengajukan keanggotaan BRICS.

Langkah ini juga mencerminkan keinginan pemerintah untuk memperluas peluang dalam sistem pembayaran global dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Namun, aksesi Indonesia pada BRICS juga menghadirkan tantangan dan peluang baik dari sudut pandang ekonomi maupun politik.

Didirikan pada tahun 2009, BRICS muncul sebagai platform bagi negara-negara berkembang untuk memperkuat pengaruh mereka dalam sistem keuangan global sekaligus mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

Beberapa negara anggota, seperti Tiongkok dan Rusia, bahkan telah mengambil langkah-langkah untuk mendevaluasi dolar menggunakan yuan dalam perdagangan energi dan menyiapkan saluran pembayaran alternatif untuk melewati SWIFT, sistem pembayaran global yang dikendalikan AS.

BRICS saat ini berkembang tidak hanya sebagai sekutu ekonomi, namun juga sebagai platform untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena internasional. Dengan kehadiran Brasil, Rusia, Tiongkok, India, dan Afrika Selatan, negara-negara BRICS menyumbang hampir 40% populasi dunia dan 35% PDB dunia. Dengan bergabungnya Indonesia, BRICS berpotensi memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara.

Neraca perdagangan Indonesia dengan anggota BRICS menunjukkan pola saling ketergantungan yang kuat. Tiongkok, misalnya, adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan perdagangan tahunan bernilai miliaran dolar, terutama di bidang manufaktur dan barang.

India juga memainkan peran penting sebagai importir utama minyak sawit Indonesia, sementara Brazil dan Rusia terlibat dalam perdagangan komoditas strategis seperti gandum, kedelai, dan pupuk.

Keinginan pemerintah untuk bergabung dengan BRICS membuka peluang bagi Indonesia untuk membangun sistem pembayaran lintas batas yang lebih mandiri. Indonesia dapat memanfaatkan inisiatif BRICS dengan menciptakan sistem pembayaran alternatif seperti BRICS Pay, yang bertujuan untuk memfasilitasi transaksi dengan mata uang lokal, baik ritel B2B maupun blockchain.

Selain itu, BRICS berencana untuk membangun jaringan pembayaran lintas batas yang lebih independen dibandingkan SWIFT, pusat arus pembayaran global.

Meskipun kerja sama BRICS membawa peluang besar, Indonesia juga menghadapi banyak permasalahan yang perlu diperhatikan. Secara politis, BRICS sangat dipengaruhi oleh Tiongkok dan Rusia, dua negara dengan kekuatan geopolitik yang besar.

Sejalan dengan komitmen politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia harus menjaga keseimbangan agar tidak terjebak dalam dinamika persaingan antara negara-negara besar baik Barat maupun Timur.

Dari sisi ekonomi, tantangan lainnya adalah risiko ketergantungan terhadap Tiongkok yang sudah tinggi. Indonesia harus memastikan hubungan dengan Tiongkok di negara-negara BRICS tidak meningkatkan ketergantungan ekonomi, namun harus menciptakan ruang diversifikasi mitra dagang seperti India, Brazil, dan Rusia.

Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki letak strategis yang dapat memperkuat pengaruh BRICS di Asia Tenggara. Pada saat yang sama, Bank Indonesia telah meluncurkan beberapa inisiatif pembayaran lintas batas sejalan dengan langkah-langkah untuk mulai mengurangi pengendalian dolar.

Pertama, pembayaran mata uang lokal (LCS) dan distributor lintas mata uang yang ditunjuk (ACCD). Inisiatif ini memungkinkan pengoperasian mata uang lokal lintas batas antara Indonesia dan negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Penggunaan LCS dapat mengurangi risiko fluktuasi dolar dalam perdagangan lokal.

Jaringan QRIS melintasi perbatasan kedua. Melalui QRIS Crossborder, Bank Indonesia telah mengintegrasikan sistem pembayaran QR dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Inisiatif ini memungkinkan wisatawan dan pedagang melakukan pembayaran lintas batas dengan mudah dan aman. QRIS Crossborder akan diperluas hingga ke Jepang, India, dan UEA, sehingga menciptakan lebih banyak ruang untuk pembayaran bebas dolar.

Tiga inisiatif pembayaran cepat lintas batas diterapkan melalui proyek NEXUS. Bank Indonesia bersama BIS Innovation Hub dan empat negara Asia lainnya, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand, telah bergabung dalam proyek NEXUS yang bertujuan untuk menghubungkan sistem pembayaran cepat antar negara. Skema ini memberikan peluang untuk melakukan pembayaran lintas batas dengan cepat dan efisien menggunakan mata uang lokal.

Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa Indonesia telah secara aktif mencari sistem pembayaran alternatif yang independen terhadap dolar bahkan sebelum pembicaraan untuk bergabung dengan BRICS. Mengingat keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, inisiatif ini dapat diperkuat dan diperluas dengan dukungan negara-negara BRICS untuk membangun sistem pembayaran lintas batas yang lebih mandiri.

Keputusan bergabung dengan BRICS mencerminkan semangat kebijakan luar negeri yang bebas dan proaktif serta kedaulatan ekonomi, sebuah gerakan non-blok. Dalam konteks sistem pembayaran, perubahan ini menghadirkan lebih banyak pilihan transaksi lintas batas untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, termasuk pertimbangan BRICS Pay.

Namun demikian, Indonesia tetap perlu menyeimbangkan kepentingan nasional dan posisi strategisnya di ASEAN agar keanggotaan BRICS dapat semakin memperkuat independensi sistem pembayaran sekaligus membuka peluang baru dalam menghadapi tantangan global.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel