Bisnis.com, Jakarta – Arif Anshori Yusuf, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran menilai Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan lemah yang merupakan pertumbuhan ekonomi negatif.
Arif mengungkapkan Indonesia akan cepat pulih dari pandemi Covid-19 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,69% pada tahun 2021, 5,31% pada tahun 2022, dan 5,05% pada tahun 2023. Namun, tambahnya, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat. .
Ia mencontohkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan 9,5 juta masyarakat kelas menengah masuk dalam kategori kasta antara 2019-2024. Sementara pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin dan rentan meningkat menjadi 12,7 juta orang.
Ia menambahkan, di negara berkembang, fenomena ini disebut pertumbuhan pertumbuhan. Secara khusus, pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan peningkatan kemiskinan.
Bhagwati (1958) menjelaskan keadaan pertumbuhan ekonomi adalah ketika pertumbuhan ekonomi menyebabkan suatu negara mengalami keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya. Sedangkan seperti dikutip dari laman referensi Oxford, penurunan pertumbuhan merupakan kondisi pertumbuhan ekonomi yang justru menurunkan kesejahteraan suatu bangsa.
Arif mengatakan, “Ini [jutaan ‘kasta kiri’ kelas menengah] terjadi ketika ekonomi kita tumbuh positif dan sebagian besar dari mereka mengatakan positif, ya, 5%. Bagaimana kita bisa tumbuh setelah penurunan kesejahteraan? Menjadi.” Channel YouTube SKS Podcast, Minggu (17/11/2024).
Anggota Dewan Ekonomi Nasional juga menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir tidak bersifat universal. Sekarang pertanyaannya adalah mengapa?
Menurut Eco Listianto, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Economic and Financial Development (Indef), pemerintahan Jokowi (2014-2024) lebih fokus pada pembangunan fisik. Akibatnya, sebagian besar anggaran dialokasikan kepada kelompok kaya.
“Kebijakan pembangunan lebih fokus pada hal-hal yang membantu investor,” kata Eco dalam debat publik Indef secara online, Senin (18/11/2024).
Mereka tidak terkejut dengan menyusutnya kelas menengah. Ia menambahkan, pembangunan hanya untuk kenyamanan masyarakat kelas atas dan menengah, sedangkan kesejahteraan masyarakat kecil bukanlah yang terbaik.
Seorang mantan analis di badan pengawas perbankan Indonesia juga menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto tidak lagi menggunakan pendekatan ekonomi yang sama untuk meningkatkan pertumbuhan di masa depan.
“Kalau anggaran besar disalurkan ke masyarakat miskin, dampaknya besar,” jelas Ako.
Sementara itu, Peneliti Indef Raza Anisa Pujarama menilai pandemi Covid-19 sedikit banyak berdampak pada penurunan kelas menengah dalam beberapa tahun terakhir. Reza menambahkan, permasalahannya pascapandemi, kelas menengah menghadapi berbagai tambahan beban hidup.
Katanya, misalnya harga bahan pokok naik, harga minyak dan listrik naik. Pada saat yang sama, inflasi juga meningkat.
“Harus dicicil, biaya pendidikan naik, lalu harga pangan, energi dan lain-lain naik, sementara pendapatan terbatas, itulah yang menyusutkan kelas menengah sehingga menjadi kelompok rentan. Reza mengatakan tentang ini.
Singkatnya, pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan oleh masyarakat kelas menengah bawah, melainkan masyarakat menengah atas.
Menjadi sulit untuk diselamatkan
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menunjukkan kesenjangan yang besar antara kelas menengah bawah dan kelas menengah atas.
Distribusi Tabungan Berdasarkan data yang dirilis LPS, pertumbuhan nominal tabungan masyarakat di bawah Rp 100 juta pada tahun berjalan (Ytd/YtD) lebih kecil dibandingkan kelompok tabungan lainnya.
Berdasarkan data LPS periode Agustus 2024, nominal simpanan di bawah Rp100 juta setara Rp1.061,42 triliun atau 12,2% dari total simpanan Rp8.698,53 triliun.
Pertumbuhan tabungan ini dilaporkan hanya meningkat sebesar 0,8% (YtD). Sementara itu, secara tahunan, peringkat saham meningkat sebesar 5,3% (y/y), sedangkan secara bulanan, angkanya sedikit lebih tinggi dibandingkan kenaikan bulan sebelumnya sebesar 0,3%.
Sedangkan simpanan konsumen affluent yang sebagian besar didominasi oleh korporasi masih merupakan simpanan dengan nominal terbesar di atas Rp5 miliar yaitu sebesar Rp4.630,51 triliun atau 53,2% dari total simpanan.
Dibandingkan dengan DPK di bawah Rp100 juta, DPK di atas Rp5 miliar tumbuh sebesar 2,1% (YtD). Pertumbuhannya sebesar 9,1% secara tahunan (YoY), sementara mengalami kontraksi sebesar 0,9% bulan ke bulan.
Selain itu, simpanan nasabah seperti simpanan nasabah dengan nominal Rp100 juta hingga Rp200 juta tumbuh sebesar 2,4% (YtD) dan tumbuh 5,1% YoY. Pada saat yang sama, peringkat deposito meningkat sebesar 3% (YtD) dari Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta dan tumbuh sebesar 4,5% YoY.
Selain itu, simpanan meningkat sebesar 2,9% (YtD) dari Rp500 juta menjadi Rp1 miliar. Pada saat yang sama, pertumbuhannya sebesar 5,7% per tahun.
Selanjutnya, DPK meningkat 3,4% (YtD) dari Rp1 miliar menjadi Rp2 miliar. Setiap tahunnya, penghematan ini meningkat sebesar 3,8%. Terakhir, DPK dari Rp2 miliar menjadi Rp5 miliar tumbuh sebesar 1,8% (YtD), sementara secara year-on-year tumbuh sebesar 3,9%.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah membelanjakan pendapatan atau sebagian tabungannya untuk konsumsi dibandingkan menyimpannya di sistem perbankan. Berbeda dengan masyarakat kelas atas.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel