Bisnis.com, JAKARTA – Center for Economic and Legal Research (Celios) menilai pemerintah harus mengkaji kehadiran bisnis online atau aplikasi e-commerce asal China, Temu, Indonesia.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Celios, mengatakan kehadiran platform ini di Indonesia bisa berdampak negatif terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM). Pasalnya, para pelaku UMKM ini menghadapi model bisnis produsen-konsumen langsung.

“Mereka tidak akan mampu bersaing dengan produsen besar yang bisa terjun langsung ke konsumen. “Maka tidak akan ada lagi penjual produknya ke pembeli,” kata Huda kepada Bisnis. Selasa (8/10/2024).

Menurutnya, kehadiran aplikasi Pindoduo atau PDD tidak memiliki nilai tambah bagi Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus menentukan ketersediaan aplikasi tersebut, misalnya dengan menyesuaikan model bisnisnya dengan kebutuhan pemerintah.

Di sisi lain, Huda menilai alasan Temu tertarik masuk ke Indonesia karena e-commerce masih sangat bagus meski tidak sebesar yang diharapkan.

Huda, mengutip laporan Bank Indonesia, mencatat target bisnis online belum terpenuhi dan lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Namun di sisi lain, pasar Indonesia masih bagus sehingga dibidik oleh salah satu e-commerce asal China yakni Temu. 

“Tidak mungkin mereka melihat pasar kita seperti apa sebelum mereka berniat masuk ke Indonesia,” ujarnya.

Komentar serupa juga disampaikan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). Staf Khusus Menteri Pembangunan Ekonomi Fiki Satari Kementerian Organisasi dan UKM menilai kehadiran Temu bisa menjadi ancaman bagi UKM lokal jika masuk ke Indonesia. 

Oleh karena itu, pemerintah terus memantau dan memastikan aplikasi-aplikasi tersebut tidak masuk ke Indonesia.

“Selain itu, platform digital di Tiongkok ini dapat memfasilitasi interaksi langsung antara pabrik di Tiongkok dengan konsumen di negara tujuan. Itu akan mematikan UMKM,” kata pejabat itu dalam keterangan tertulisnya kepada Kemenkop UKM khususnya. Rabu. (2/10/2024).

Temu sendiri telah mencoba sebanyak tiga kali untuk mendaftarkan mereknya di Indonesia. Bahkan pada Juli 2024, aplikasi asal China ini kembali mengajukan pendaftarannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).

Upaya pendaftaran gagal karena sudah ada perusahaan dengan nama yang sama dari Indonesia, dan sebagian besar KBLI juga sama.

Fiki berharap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan pemangku kepentingan lainnya dapat bekerja sama untuk mencegah aplikasi ini masuk ke Indonesia. Hal ini diperlukan untuk melindungi pelaku usaha lokal, khususnya UKM.

“Kita tidak boleh lengah, situasi harus terus kita pantau,” ujarnya. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel