Business.com, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemperin) membantah penurunan Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Tanah Air selama tiga bulan berturut-turut dan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) berkaitan dengan isu industrialisasi. ) semakin menurun.​

Juru Bicara Kementerian Perindustrian Fabry Hendry Antoni Arif mengatakan jika laju pertumbuhan produksi 0% atau lebih rendah dan kontraksi industri rendah, maka industri nasional akan tetap tumbuh positif.​

Febry mengatakan kepada wartawan, Kamis (3/10/2034): “Kami menilai istilah ‘deindustrialisasi’ tidak tepat diterapkan pada situasi manufaktur saat ini.”

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan pengolahan atau manufaktur migas pada triwulan II tahun 2024 mencapai 4,63% (year/year pada periode yang sama). Periode yang sama tahun lalu.

Fabri mengatakan, produksi nasional menunjukkan ketahanan karena pertumbuhan tahunan tetap berada pada kisaran 4%-5% meski di tengah pandemi. Kontribusi terhadap PDB sudah mulai pulih menjadi 19% tahun-ke-tahun, meskipun angkanya kurang dari 21% pada satu dekade lalu, katanya.​

“Jadi menurut kami tidak tepat. Kita sekarang sedang investasi besar-besaran, seperti proyek hilirisasi nikel yang pertumbuhannya sangat pesat, hingga 3.000% pada masa pemerintahan Pak Jokowi,” ujarnya.​

Ia juga menilai upaya pembalikan CPO mempunyai nilai tambah yang signifikan. Secara keseluruhan, nilai tambah manufaktur (MVA) akan mencapai US$255 miliar pada tahun 2023 atau setara dengan Rp4.119 triliun.

Nilai tambah industri manufaktur nasional rata-rata tumbuh sebesar 36,4% per tahun. Alasannya: nilai tambah manufaktur Indonesia tahun lalu mencapai $187 miliar.​

“Oleh karena itu, industrialisasi itu terkait dengan manufaktur yang sudah ada, atau industrialisasi awal tidak tepat,” jelasnya.​

Febry menilai kondisi manufaktur saat ini sedang memburuk akibat perubahan struktural manufaktur di negara berkembang.​

“Jadi pendapatan per kapita mereka sudah cukup untuk bisa berubah.” Ia menjelaskan, “Faktanya, di negara-negara berkembang, ada kebutuhan untuk mengkaji secara menyeluruh hubungan antara pertumbuhan manufaktur dan pertumbuhan populasi.”

Sebelumnya, studi baru yang dirilis Bright Institute Economic Research Institute menunjukkan bahwa penurunan kelas menengah Indonesia disebabkan oleh fenomena awal industrialisasi.​

Mohammad Andri Perdana, direktur riset Institute of Light, mengatakan proporsi manufaktur dalam PDB telah menurun, sektor industri tumbuh lambat dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan perekonomian, dan angkatan kerja memiliki tingkat yang rendah dibandingkan perekonomian. . Melemahnya pertumbuhan menjadi pertanda kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sektor industri dalam dua periode terakhir.

“Kematangan sektor manufaktur sangat penting bagi perkembangan perekonomian Indonesia sebagai negara maju, karena sektor ini menjadi tumpuan lahirnya kelas menengah dan tumbuhnya sektor tersebut,” ujarnya.

Dalam kajian ini juga terdapat penilaian bahwa bonus demografi sejak awal hingga akhir pemerintahan Presiden Joko harus menjadi landasan struktur ketenagakerjaan yang melahirkan kelas menengah. Hal ini mendukung struktur demografi yang berkelanjutan seiring dengan pertumbuhan produktivitas yang tinggi, terutama manufaktur.​

Namun perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah tidak memprioritaskan aspek ini. Dampaknya, generasi mendatang akan semakin sulit memasuki kelas menengah.

“Jika sektor industri ini terpuruk sebelum tingkat pendapatan masyarakat membaik, maka tenaga kerja akan mengalir ke industri jasa bernilai tambah rendah yang sedang bermunculan,” jelasnya.

Ia meyakini penurunan ini disebabkan oleh model permintaan repatriasi modal yang “hilir”, terutama pada subsektor tertentu yang sebagian didanai asing. Akibatnya, tidak ada angkatan kerja yang mampu menghasilkan kelas menengah dalam jumlah besar.​

“Di sisi lain, kecuali industri jasa bernilai tinggi, tingkat ICOR manufaktur meningkat lebih cepat dibandingkan sektor lainnya. Hal ini menyebabkan aliran modal kecil ke jenis manufaktur yang tidak puas dengan investasi asing.” . dia menjelaskan.

Selain itu, investasi pada industri manufaktur yang padat karya, industri manufaktur yang sangat terpengaruh oleh impor, manufaktur barang konsumsi yang sangat dipengaruhi oleh daya beli, dan investasi manufaktur yang bertentangan dengan kebutuhan industri padat modal.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan Saluran Tontonan