Bisnis.com, JAKARTA – Pasar modal manusia (BPR) masih menjadi perhatian di tengah meningkatnya kredit bermasalah (NPL). Lantas, apa manfaat baru dari grup BPR?
Sebagai informasi, berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan OJK, nilai kredit bermasalah BPR per Juni 2024 mencapai Rp 16,46 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 11,39% dari total kredit yang disalurkan.
Rasio NPL tersebut jauh di atas ambang batas yang ditetapkan regulator sebesar 5%. Jika dirinci, total kredit macet BPR Juni 2024 mencapai Rp10,91 triliun, naik 29,87% year-on-year.
Pada periode yang sama tahun lalu atau Juni 2023, NPL BPR masih berada di level 9,27%atau dan/dan/atau NPL BPR sebesar Rp12,58 triliun. Sedangkan total kredit macet saat itu sekitar Rp 8,4 triliun.
Di tengah meningkatnya proporsi kredit bermasalah, industri BPR tetap melaporkan keuntungan. Sepanjang tahun ini, grup perbankan ini meraup laba Rp 1,06 triliun.
Namun pendapatan tersebut lebih rendah 25,68% dibandingkan Juni 2023 yang senilai Rp 1,43 triliun. Return on Asset (ROA) BPR juga mengalami penurunan dari 13,28% pada Juni 2023 menjadi 9,36% pada Juni 2024.
Terkait kinerja industri BPR, Direktur Pengawasan Keuangan OJK Dian Ediana Rae melaporkan pertumbuhan aset, DPK dan kredit BPR dan BPR Syariah terus meningkat pada semester I tahun 2024 yaitu sebesar 6,19%, 7,01%,6 menurut 96% dalam beberapa tahun (yyyy).
Menurut dia, pertumbuhan aset, kredit DPK dan BPR/S dijaga sejalan dengan perluasan operasional usaha sebagaimana diamanatkan UU P2SK yang selama ini didukung dengan memenuhi modal minimal Rp 6 miliar dan menjamin integrasi. bisnis. Penyelenggaraan BPR/S biasanya masuk dalam POJK 7 mulai tahun 2024.
Sementara itu, kiprah Dian bahwa tahun depan BPR akan menghadapi banyak tantangan, seperti pasar internasional dan pasar domestik untuk memanfaatkan lebih banyak informasi yang akan mempengaruhi perubahan perilaku, harapan dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR/S. .
“Apalagi BPR terus menghadapi persaingan yang ketat, khususnya dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha kecil, kecil, dan menengah [UMKM],” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (14/9/2024).
Oleh karena itu, untuk menghadapi perubahan dan tantangan tersebut, BPR/S harus mempunyai daya tahan dan daya saing yang kuat, sehingga dapat mempertahankan kinerjanya dan mempunyai daya saing yang kuat.
Dalam pengembangan bisnis BPR/BPRS, OJK telah mencanangkan empat poin strategi, yaitu meningkatkan standar dan persaingan, melakukan digitalisasi BPR, memperkuat peran BPR di bidangnya termasuk penguatan, otorisasi dan pengawasan. .
Sebelumnya, Direktur Jenderal Persatuan Bankir Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah membenarkan memang ada peningkatan NPL BPR di akhir masa jeda restrukturisasi kredit Covid-19.
Namun, ia optimistis kondisi kualitas kredit BPR yang buruk ini tidak akan bertahan lama, mengingat perusahaan BPR berkomitmen untuk meningkatkan kinerjanya seiring dengan berjalannya operasional.
“Selain itu, manajemen risiko semakin ditingkatkan mulai dari analisis kredit hingga pelatihan pasca pinjaman. Ini juga merupakan bagian dari upaya perbaikan berkelanjutan kami untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan daya saing perusahaan, ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel