Bisnis.com, Jakarta – Pemerintah dinilai perlu memberikan lebih banyak insentif untuk meningkatkan produktivitas sektor riil guna mengantisipasi tantangan yang akan muncul dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 2025.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Wijaja Kamdani, mengatakan upaya peningkatan produktivitas belum masuk dalam rencana pemerintah tahun depan.

“Kami tidak melihat adanya upaya signifikan untuk meningkatkan produktivitas selain penerapan program reformasi struktural yang ada. Memang, reformasi struktural yang ada mungkin berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun sejauh ini belum cukup kuat untuk memberikan indikator perekonomian yang diharapkan. ,” kata Shinta kepada Bisnis belum lama ini.

Padahal, jelas Shinta, APBN 2025 mampu mendeteksi risiko pertumbuhan ekonomi tahun depan dengan baik. Mulai dari tekanan geopolitik, pertumbuhan global yang masih lemah, hingga suku bunga global yang lebih tinggi.

Selain itu, pemerintah dinilai mempunyai ruang yang luas untuk melakukan intervensi pasar guna mengantisipasi meningkatnya tekanan terhadap daya beli masyarakat akibat faktor eksternal seperti melemahnya nilai tukar mata uang atau fluktuasi harga pangan/energi.

Padahal, dukungan sosial dalam APBN 2025 dikategorikan sangat liberal, mulai dari pendanaan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan, dan subsidi lainnya.

Persoalannya, pertumbuhan ekonomi tahun 2025 tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan dukungan sosial. Jika beban pertumbuhan ekonomi eksternal dan internal berkurang, harus ada perputaran ekonomi yang kuat di sektor riil, terutama di sektor formal. perubahan sedemikian rupa sehingga menciptakan tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan yang Anda inginkan,” jelasnya.

Kondisi ini dinilai sebagai kebutuhan APBN 2025 untuk menciptakan lebih banyak insentif guna meningkatkan produktivitas sektor riil guna lebih mencapai target pertumbuhan.

Idealnya, pemerintah harus menciptakan kebijakan reformasi struktural yang inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan daya saing iklim usaha atau investasi nasional, tambah Shinta.

Inovasi kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek sehingga beban keuangan APBN tahun depan lebih terkendali tanpa menimbulkan lebih banyak risiko keuangan dalam jangka menengah dan panjang.

“Jika pemerintah tidak menciptakan pendorong pertumbuhan produktivitas jangka pendek dalam 1 tahun hingga 2025, terutama lebih banyak lapangan kerja di sektor formal, masuknya FDI dan pertumbuhan kinerja ekspor yang signifikan, kami khawatir banyak asumsi yang mungkin salah.” Dia berkata.

Akibatnya, peningkatan porsi utang dan defisit APBN dapat melebihi batas target yang dianggap sehat, yaitu wajar, bagi keberlanjutan makroekonomi dan keuangan publik.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan saluran WA