Bisnis.com, Jakarta. Fenomena penggunaan hukuman seringkali tidak dipahami oleh generasi muda, khususnya Generasi Z dan Milenial, padahal hal tersebut mengancam kualitas masa depan pribadinya.
Geeta Argasmita, seorang guru dan perencana keuangan, mengatakan bahwa biaya hukuman adalah pengeluaran yang bersifat sepele atau kesenangan murahan yang mudah dinikmati saat ini. Perilaku tersebut, kata dia, sebenarnya didorong oleh rasa frustasi atau kekecewaan karena tidak mampu mencapai tujuan keuangannya.
“Sekarang kami harus punya aset. Kalau beli bisa dicicil, tapi harus menghasilkan aset. Aset terpenting dalam hidup misalnya adalah rumah atau mobil, apalagi rumah saat ini. Terlalu mahal membuat orang sedih, seperti kalau menabung sampai tidak mampu, lebih baik menikmati hidup dengan membeli uang receh untuk bersenang-senang. saluran pada Kamis (17/10/2024).
Dengan kata lain, kata dia, konsumsi hukuman membuat siapa pun yang dihadapkan pada pemikiran tersebut berpikir tentang kekurangan harta. Mereka percaya bahwa pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan mereka lebih baik digunakan untuk mencari kebahagiaan.
Dia menjelaskan, sikap terhadap biaya hukuman pada dasarnya adalah kurangnya kesabaran dalam menjalani proses. Hal ini terlihat jelas dari perilaku banyak orang di media sosial yang menginginkan segala sesuatunya serba instan atau cepat.
“Kita hidup di era media sosial di mana orang suka membuat konten pendek. Secara intuitif, kami hanya ingin cepat. Sedangkan jika membeli aset seperti rumah, prosesnya panjang. Dan hal ini membutuhkan banyak kesabaran, katanya: “Kurangnya kesabaran menyebabkan perilaku akhir dunia.”
Lanjutnya, dalam teori perencanaan keuangan ada yang namanya anggaran. Mengingat anggaran yang terbatas, keekonomian jelas lebih penting daripada kesenangannya. Lebih tepatnya, tabungan harus mencapai 20 persen dari gaji, dan kesenangan – 10 persen.
Banyak kelas menengah di Indonesia memperoleh upah yang sesuai dengan upah minimum atau sedikit di atas upah lokal, katanya. Seringkali, terutama di wilayah yang lebih luas, karyawan mendapati bahwa porsi hiburan dalam gaji mereka terlalu kecil untuk memenuhi anggaran 10 persen.
Penggunaan hukuman bukanlah monopoli perempuan
“Kok 10% kamar saya untuk hiburan. Buat apa berhemat kalau tujuannya sepertinya tidak mungkin tercapai. Mendingan pintar, yang di depan mata hiburan,” bebernya 20 persen sebagian, disisihkan 10 bunga itu jika kamu masih punya uang.”
Pada saat yang sama, ia membantah bahwa biaya hukuman ditanggung oleh perempuan. Menurutnya, laki-laki juga akan dihukum. Menurutnya, persekongkolan terhadap perempuan berkaitan dengan kebiasaan mengatur keuangan dalam keluarga.
Menurutnya, perempuan dalam keluargalah yang biasanya menyimpan uang di tangannya, baik dari hasil pekerjaan suaminya maupun dari hasil pekerjaannya sendiri. Uang ini akan digunakan untuk kebutuhan keluarga, termasuk pasangan dan anak. Akibatnya, jumlah dan intensitasnya tinggi.
“Tetapi cobalah untuk memeriksa jumlah uang yang benar-benar dicadangkan untuk digunakan oleh perempuan. Bandingkan dengan apa yang disebut uang laki-laki yang disimpan untuk digunakan sendiri, misalnya, ‘Jadi kalau dihitung-hitung, sebenarnya laki-laki membelanjakannya? lebih dari wanita.'” jelasnya.
Karena semakin intensif berbelanja kebutuhan seluruh keluarga, perempuan dengan mudah menjumpai berbagai promo penjualan dan diskon. Hal inilah yang menimbulkan stigma bahwa penyiksaan seringkali ditujukan kepada perempuan.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel