Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pendapatan banyak SPBU kini terdampak kendala bisnis akibat adanya aturan harga bahan bakar gas (HGBT) tertentu. 

Padahal, kata Komaidi, pengembangan minyak harus dilakukan dengan baik setelah keberhasilan eksplorasi di Laut Utara Andaman dan Geng untuk meningkatkan produksi dalam negeri dari permasalahan listrik saat ini. 

“Kalaupun pemerintah siap menurunkan PNBP melalui penyaluran BBM ke HGBT, kebijakan tersebut tetap membuat pembangunan daerah tidak berjalan,” kata Komaidi saat dihubungi, Rabu (22/5/2024). 

Menurut Komaidi, monetisasi minyak harusnya mengharuskan harga jual minyak berdasarkan kondisi pasar. 

Di sisi lain, dia mengatakan pemerintah ingin menurunkan harga BBM dari puncak ke angkutan untuk mendapatkan harga BBM yang kompetitif bagi perusahaan. Situasi ini, tambahnya, membawa beberapa perbaikan dalam prosesnya.

Ujung-ujungnya mereka jadi khawatir apakah bisa dibeli dengan harga murah atau tidak. Kalau tidak dibeli dengan murah, maka tidak bisa diproduksi, ujarnya. 

Saat ini, rata-rata harga minyak yang dibeli PGN melalui kontraktor perusahaan patungan (KKKS) untuk pelanggan di wilayah barat lebih dari US$6 juta meter British thermal unit (MMBtu) per head.

Sementara itu, biaya transportasi bagi pengguna minyak atau pihak kilang rata-rata mencapai US$9 per MMBtu. Di sisi lain, pemerintah meminta PGN menurunkan harga menjadi US$6 per MMBtu.

“Untuk transisi energi, kita tidak bisa langsung terjun ke energi terbarukan, tidak bisa mengubah segalanya dalam waktu singkat, minyak punya posisi yang bagus,” ujarnya. 

Diberitakan sebelumnya, Perusahaan Khusus Pasar Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengumumkan pendapatan kerugian pemerintah akibat kebijakan HGBT sepanjang tahun 2023 mencapai lebih dari USD 1 miliar atau setidaknya sekitar Rp. 15,67 triliun (yaitu nilai tukar Rp 15.667 per dolar AS).  

Wakil Presiden Bidang Keuangan dan Pemasaran SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan potensi hilangnya pendapatan pemerintah masih dalam hitungan awal dan perlu rekonsiliasi lebih lanjut.  

Hilangnya penerimaan negara yang cukup besar ini dibarengi dengan penyerahan beberapa kontrak pengikatan dan perjanjian jual beli gas (PJBG) pertama peraturan HGBT yang diterbitkan melalui Keputusan Menteri ESDM no. 89/2020. 

Kalau saya tulis, mungkin uangnya di tahun 2023 bisa lebih dari 1 miliar dolar AS, ada kemungkinan pendapatan pemerintah berkurang atau ada perubahan pendapatan pemerintah, kata Kurnia dalam pertemuan tersebut, Rabu (28/2) / 2024). 

Dari peraturan terbaru Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen) nomor 91.K/MG.01/MEM/2023, HGBT tidak dibatasi sebesar US$6 per juta British thermal unit (MMBtu). Beberapa pasar kini mengurangi pasokan dan harga minyak bisa naik hingga US$7 per MMBtu.  

Lebih lanjut, Kementerian ESDM mencatat penurunan porsi negara pada industri minyak murah menjadi Rp 29,39 triliun antara tahun 2021 hingga 2022, rata-rata sebesar 46,81% dalam dua kali rencana berjalan.  

Namun, jelas Kurnia, adopsi HGBT sepanjang tahun 2023 meningkat hingga 96%. Artinya, terjadi peningkatan penerima BBM murah dibandingkan penyaluran pada tahun 2021 dan 2022.  

Sepanjang tahun 2021, harian ekspor produk BBM ke pasaran sebesar 87,06% dari volume penyaluran saat ini sebesar 1.241,01 BBtud, sedangkan penyaluran minyak bumi pada tahun 2022 turun menjadi 81,38% dari volume penyaluran sebesar 1.253,81 BBtud. 

“Masih belum cukup kepentingan negara atau menjadikan kontraktor terintegrasi penuh. UU HGBT ini berlaku pertengahan tahun 2020-2021. Padahal, sudah disepakati mulai harga PJBG, “ucap Kurnia. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel