Bisnis.com, JAKARTA – Proyek transmisi listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) di Singapura dipandang sebagai cara yang menguntungkan untuk mengembangkan industri energi surya dan rantai pasokannya. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Bapak Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh terus berjalan mundur dan mempunyai suara yang berbeda mengenai penjualan listrik ramah lingkungan di luar negeri. 

“Saya kira bagus kalau Indonesia kirim tenaga listrik [EBT] ke Singapura. Pemerintahnya jangan baik, jangan bolak-balik dukung kesepakatan kedua negara,” kata Fabby kepada Bisnis, Selasa (8) / 10/2024). 

Dalam hal ini, Fabby menyikapi perbedaan suara yang terjadi antara Kementerian Energi dan Mineral (ESDM) dan Kementerian Perencanaan Kelautan dan Investasi. 

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, program EBT ekspor listrik akan dikaji ulang pihaknya untuk memprioritaskan kebutuhan dalam negeri, serta menjaga daya saing dan keseimbangan EBT. 

Untungnya, Indonesia dan Singapura baru-baru ini mendorong proyek kerja sama energi baru terbarukan yang mencakup pengembangan industri listrik eksternal dan panel surya dengan nilai US$ 20 miliar atau setara Rp 308 triliun (dengan kurs Rp 15.423 per AS. $). 

Singapura sudah meningkatkan pembelian listrik ramah lingkungan dari Indonesia sebesar 1,4 gigawatt (GW) menjadi 3,4 GW yang akan dilakukan oleh tujuh perusahaan yaitu TotalEnergies & RGE, konsorsium Shell Vena Energy, Pacific Metcoal Solar Energy, Adaro Solar International, EDP Energi Terbarukan APAC, Venda RE dan Kepel Energy. 

“Sejak proses perencanaannya disetujui oleh EMA [Energy Market Authority] Singapura, maka proses persiapan dari investor dilakukan dengan mencari lahan, pengurusan izin, kajian teknis, kajian analisa dampak lingkungan,” ujarnya. 

Pak Fabby mengatakan, pemerintah harus mendorong program penjualan listrik ini untuk menambah devisa dari departemen EBT. Selain itu, Indonesia juga mendapat manfaat dari perlunya mengembangkan industri dan rantai pasokan tenaga surya dalam negeri. 

Dengan begitu, produsen energi surya dan baterai listrik luar negeri bisa diproduksi di Indonesia dan memberikan nilai tambah. Sejumlah perusahaan tenaga surya juga sudah mulai membangun pabrik. 

“Ada beberapa perusahaan seperti Inspira [Konsorsium Industri Panel Surya Indonesia & Aliansi Terbarukan], Jinko Solar, Seraphim Energy, Trina Solar sudah membangun dengan harapan bisa ikut serta dalam proyek ini,” ujarnya. 

Dari proyek pengembangan industri panel surya di Indonesia, ia melihat kapasitas hingga 15 GW bisa tercipta. Dalam hal ini, rencana ekspor Singapura merupakan jaminan pasar yang terjamin dengan kontrak serapan sebesar 3,4 GW. 

Jangka waktunya jelas, 2026-2028 jelas dari sisi permintaan Singapura dan bisa menarik masyarakat berinvestasi di Indonesia, ujarnya. 

Di sisi lain, Fabby meyakini proyek ini juga akan memungkinkan Indonesia membangun industri PLS. Artinya kita nanti bisa memproduksi modul surya tier 1, dan kedepannya kita juga bisa ekspor ke ASEAN atau bahkan Pasifik, jelasnya. 

Selain itu, ia memahami upaya Kementerian ESDM dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Meski demikian, Indonesia masih memiliki kapasitas tenaga surya yang besar yaitu 3.3000 GW. 

“Saya melihat ini [national demand] tidak bisa menjadi alasan untuk berhenti menjual listrik ke Singapura, ini sedang membangun industri PLS kita,” tutupnya. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel