Bisnis.com, JAKARTA – Para pekerja di industri tembakau (IHT), termasuk pabrik rokok, rentan terkena PHK akibat berbagai permasalahan industri yang kompleks hingga berujung pada berkurangnya produksi. 

Secara nasional, produksi tembakau olahan, yaitu rokok, telah turun dari 350 miliar batang sebelum tahun 2019 menjadi 300 miliar batang per tahun saat ini. 

Merrijantij Punguan Pintaria, Direktur Industri Minuman, Tembakau, dan Kembang Gula Kementerian Perindustrian, mengatakan pihaknya tidak memungkiri tekanan yang dihadapi OKI kini sangat berat.

“Kalau dilihat dari Industrial Confidence Index (ICI) memang ada penurunan. OCI ada penurunan. Salah satu yang kita soroti adalah kondisi harga dan daya beli juga menurun,” kata Merry saat ditemui. di Jakarta. Rabu (29/5/2024).

Sementara itu, tidak dapat disangkal bahwa harga jual rokok terus meningkat seiring dengan penyesuaian produsen terhadap kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan pajak sebesar 10 persen pada tahun ini.

Di sisi lain, industri juga menghadapi sentimen terhadap RPP Kesehatan yang menghambat perkembangan dunia usaha. Beberapa peraturan yang disoroti adalah batasan TAR dan nikotin, kemungkinan pelarangan bahan tambahan, item terkait jumlah batang dalam satu bungkus, larangan penjualan eceran rokok, iklan jam malam di TV, dan lain-lain. aturan, serta mengenai larangan. promosi di jejaring sosial.

Padahal, IHT menyerap banyak lapangan kerja, hingga 6 juta orang. “Kami dengar ada 6 juta pekerja yang terlibat secara langsung dan tidak langsung. Jadi kebutuhan penghidupan 6 juta pekerja ini harus kita penuhi,” jelasnya.

Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian berupaya untuk menguasai pasar luar negeri dan mendorong penerapan peraturan terkait secara wajar bagi seluruh pemangku kepentingan, agar tidak merugikan pihak manapun.

“Saya berharap KPBU Bidang Kesehatan ini sesuai dengan arahan pimpinan, dengan instruksi Presiden, sehingga bisa disahkan secara antar partai. Sehingga tidak merugikan khususnya bagi kaum buruh dan rakyat. industri, buruh, dan petani,” tutupnya.

Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mencatat 142.688 anggota bekerja di sektor tersebut.

Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto mengatakan kebijakan pembatasan produksi hasil tembakau akan mempengaruhi keberlangsungan lapangan kerja dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Realitas yang ada saat ini adalah lapangan kerja itu sendiri tidak sesuai dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya, tidak ada pekerjaan yang bisa menggantikan nilai kesejahteraan yang mereka dapatkan saat ini,” kata Sudarto.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan saluran WA