Bisnis.com, JAKARTA – Ikatan Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) berencana meningkatkan produksi baja untuk menangkap peluang ekspor ke Amerika Serikat. Hal ini dinilai perlu setelah AS membatasi perdagangan sejumlah barang asal China.
Ketua Umum IISIA Purwono Widodo mengatakan perang dagang AS-China menjadi katalis bagi industri besi dan baja untuk mendongkrak kinerja ekspor yang terpuruk pada tahun lalu akibat lemahnya permintaan dan turunnya harga baja global.
“Ini peluang, karena produk China tidak bisa masuk ke Amerika, terbatas, peluang kita ekspor ke sana. Industri baja juga ikut,” kata Purwono di Purwakarta, Jumat (21/6/2024).
Peluang ekspor baja ini juga disertai dengan beberapa kendala terkait peningkatan biaya logistik dan berkurangnya ketersediaan kapal. Pelaku usaha mencari solusi dengan mengoptimalkan kontainer yang ada.
Purwono, sebaliknya, memperkirakan produksi baja akan meningkat 5,2% menjadi 18,3 juta ton tahun ini pada CAGR tahun 202-2023. Sedangkan total produksi pada tahun 2023 sebesar 15,2 juta ton.
“Harus ada peningkatan produksi, biar tidak ada pangsa dalam negeri. Tergantung ekspor, apalagi nilai tukarnya bagus, kita semua tekankan ekspor. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi nasional tidak jauh dari 5%.” dia berkata
Sekadar informasi, sebelumnya ekspor besi dan baja mengalami penurunan sepanjang tahun 2023. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor besi dan baja (HS 72) selama tahun 2023 sebesar US$26,70 miliar atau turun 3,94% dibandingkan ke nilai tahun sebelumnya sebesar US$28,48.
Penurunan ekspor tahun lalu disebabkan oleh konflik geopolitik global dan tekanan ekonomi. Sepanjang tahun 2023, negara tujuan utama ekspor besi dan baja Indonesia adalah Tiongkok dengan pangsa sebesar 68,67% dari total ekspor barang tersebut pada tahun 2023 senilai US$18,34 miliar.
Nilai ekspor tersebut sedikit menurun dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 8,33 juta ton atau 8,38% dari total ekspor nasional yang berjumlah 18,97 miliar dollar AS.
Dalam laporan IISIA, penurunan konsumsi besi dan baja Tiongkok dapat meningkatkan volatilitas dan ketidakpastian, salah satunya karena perekonomian Tiongkok masih dalam tahap transisi struktural.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel