Bisnis.com, JAKARTA – Kasus perundungan terus terjadi di kalangan peserta program pendidikan profesi kedokteran (PPDS). Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, terutama karena PPDS dibayar rendah atau diberi kompensasi tinggi. 

Baru-baru ini, seorang mahasiswa PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang meninggal dunia diduga akibat penganiayaan saat belajar. 

Sementara Kementerian Kesehatan mencatat, sejak Juli 2023 hingga 9 Agustus 2024, terdapat 356 kasus penganiayaan, dimana sekitar 211 kasus terjadi di rumah sakit dan 145 kasus terjadi di luar rumah sakit. 

Penyelenggara Jaringan Dokter Muda Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ph.D. Tommy Dharmawan mengatakan ada sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya bullying. Salah satunya adalah penerima PPDS yang belum dibayar. 

“Salah satu penyebab terjadinya perundungan ini adalah tidak adanya gaji, bahkan ada yang meminta uang untuk makan, uang untuk belanja, transaksi, dan lain-lain. Sebab peserta PPDS sudah tua dan mempunyai gaji. Beberapa juga mengatakan: “Jika Anda memiliki keluarga, Anda juga harus menghidupi keluarga Anda,” katanya kepada media. Konferensi pers, Rabu (21 Agustus 2024).  

Masih banyak lagi di bawah ini:

• Jam kerja yang tidak wajar

• Tanggung jawab administratif ditanggung oleh peserta PPDS, namun harus dilaksanakan oleh tenaga administrasi PPDS.

• Alur perintah tidak lengkap

• Kurangnya orang

• Bekerja di luar sekolah

Tommy mengatakan, semua bisa diselesaikan dengan undang-undang yang jelas, tata kelola yang baik, dan pengupahan yang adil. 

“Karena PPDS mereka bekerja lho. Tak hanya belajar, mereka juga ikut bekerja. Kadang untuk mengobati pasien dibayar Rp 2.000. Bahkan untuk tukang parkir,” ujarnya. 

Ia berharap ke depan ada perundingan dan perencanaan agar peserta PPDS mendapat pembayaran yang adil dan pembagian peserta secara adil. 

“Peserta PPDS tidak bisa dibayar begitu saja oleh RS yang berdiri, lama kelamaan bisa bubar. Bisa saja bekerja sama dengan LPDP atau lembaga terkait lainnya. Mudah-mudahan kalaupun dibayar, jumlahnya tidak hanya Rp 2 saja. juta, Rp 3 juta, tapi ya, tergantung jam kerjanya, ”ujarnya. 

Di sisi lain, perlu juga diketahui apakah penyebab trauma psikologis yang berujung pada perilaku bunuh diri peserta PPDS adalah bullying atau stres kerja. 

“Karena tidak semua tindakan orang yang lebih tua tidak bisa disebut tirani. Jadi saya sangat berterima kasih jika Kementerian Kesehatan bisa fokus pada permasalahan setiap kasusnya,” ujarnya. 

Kategori intimidasi di lingkungan layanan kesehatan

Dari Keputusan Menteri Kesehatan HK 02.01/Menkes/1512/2023, terdapat beberapa pasal yang mencakup perundungan baik secara fisik, verbal, siber, non fisik, dan non verbal, antara lain:

1. Bullying secara fisik, meliputi tindakan seperti memukul, menendang, mengunci rumah, berdesak-desakan, mencakar, mengambil uang, merusak harta benda, melakukan pelecehan seksual dan tindakan kekerasan lainnya.

2. Perundungan secara verbal, meliputi ancaman, penghinaan, hinaan, hinaan, pemanggilan nama baik, fitnah, makian, hinaan, pengancaman, hinaan, dan penyebaran informasi palsu.

3. Cyberbullying, yaitu merugikan atau merugikan orang lain dengan menggunakan media elektronik seperti menyebarkan berita atau video palsu dengan maksud untuk memprovokasi atau mencemarkan nama baik orang lain. 

4. Perundungan non-fisik dan non-verbal, meliputi isolasi, penelantaran, pengiriman surat kaleng (pungli), pemberian jasa keamanan di luar batas wajar, tuntutan uang sekolah, kegiatan ekstrakurikuler atau biaya-biaya lain di luar biaya yang disebutkan.   

Kementerian Kesehatan sendiri telah menyediakan layanan pelaporan korban yang aman dan rahasia melalui https://perundungan.kemkes.go.id/. Pengaduan dapat disampaikan melalui WhatsApp dengan menghubungi 0812-9979-9777.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan Saluran WA