Bisnis.com, JAKARTA – Program tabel pangan nasional atau food farm yang menjadi proyek andalan era Jokowi dinilai masih kurang efektif, bahkan tidak sejalan dengan pertumbuhan sektor pertanian yang menyusut.

Menurut Abra Talattov, ekonom di Institute of Economics and Finance (Indef), penerapan program aset pangan masih moderat dalam konteks penggunaan lahan. 

“Contohnya di Kalteng, sampai Juni ini ada 70.000 hektare, tentunya dengan luas yang kecil kurang dari 100.000 hektar, masih banyak jalan yang harus ditempuh untuk mengisi lubang tersebut,” kata Abra, Selasa. Athit (22/9/2024) bahwa kekurangan atau pengurangan padi seluas 4 juta hektar. 

Ia menjelaskan, sawah di Indonesia akan mengalami penurunan akibat fenomena El Niño pada tahun 2023-2024. Rata-rata luas budidaya berkurang 30,8% atau 4,2 juta hektar.

Kondisi ini menyebabkan penurunan produksi beras selama dua tahun terakhir sehingga pemerintah memangkas tajam impor beras sebanyak 2,5 juta ton pada tahun lalu. 

“Ini [lahan sawah yang dikurangi] harus bisa digantikan dengan konsolidasi lahan melalui program real estate,” jelasnya. 

Tak hanya Kalimantan Tengah, sejauh ini total pengembangan kawasan pangan di beberapa daerah seperti Kab. Sumba Tengah (10.000 hektar), Kab. Gresik (1175 ha), Kab. Garut (1000 ha), Kab. Bantul (1000 hektar), Kab. Temanggung (1000 hektar) dan Kab. Vonosobo (1000 hektar). 

Termasuk dalam Program Strategis Nasional tahun 2020 hingga 2024, Program Rumah Pangan juga akan ditetapkan di sejumlah daerah lain, seperti Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. 

Berdasarkan dokumen yang diterima dari Kementerian Pertanian, direncanakan penambahan 3 juta hektare dalam lima tahun ke depan untuk perluasan lahan sawah baru di beberapa provinsi, ujarnya. 

Sedangkan salah satu dari 17 program prioritas Pak Prabowo fokus pada swasembada melalui program Jadwal Pangan Nasional, pengembangan padi, jagung, singkong, kacang-kacangan, dan tebu. 

“Sekali lagi, permasalahannya adalah program real estate sudah berjalan dan hasilnya masih kecil karena banyak kritik yang muncul tidak hanya dalam konteks produksi pertanian, tetapi juga dalam perencanaan dan penempatan lahan lindung. Akses terhadap kawasan hutan dan bekas wilayah program pengembangan lahan. 

Ia mengatakan, dahulu pengembangan lahan pertanian diprediksi akan meningkatkan produksi pertanian. Padahal, sejauh ini belum ada hasil yang baik, bisa disebut gagal. 

Abrar juga menyayangkan pertumbuhan sektor pertanian yang disebut-sebut melambat dari tahun ke tahun di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. 

“Kemudian naik lagi 4,24% [tahun 2024], tapi dari tahun ke tahun bahkan sebelum ada Covid-19 memang turun terus 3,6% di tahun 2019, bahkan tahun 2023 naik,” jelasnya. ”dia menjelaskan. .

Pangsa pertanian terhadap PDB juga turun dari 13,3 persen menjadi 13,5 persen selama pemerintahan Jokowi. Secara khusus, kontribusi sektor pangan terhadap PDB juga mengalami penurunan dari 3,25% menjadi 2,26%. 

“Indikator kinerja sektor pangan kita salah satunya adalah Global Food Security Index yang merupakan indeks ketahanan pangan kita. Pertama, pada tahun 2019 hingga 2022, peringkat kita justru turun dari peringkat 60 menjadi 63. Kedua, jika dibandingkan dengan “Asean, Singapura , Malaysia, ia menyimpulkan Vietnam masih masuk dalam indeks ketahanan pangan global. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel