Bisnis.com, JAKARTA – Komisi I DPR RI menyayangkan minimnya cadangan data di Pusat Data Sementara Nasional (PDNS) sehingga memperlambat proses pemulihan data. 

Dave Akbarshah, salah satu anggota Komisi I Korea Utara, bertanya kepada Ficarno mengapa Indonesia tidak bertindak lebih cepat untuk memerangi ransomware. Hal ini berbeda dengan negara lain yang jauh lebih cepat menangani ransomware.

Kepala BSSN Khinsa Siburian mengakui negara lain juga memiliki Disaster Recovery Center (DRC) sehingga informasi dapat pulih dengan cepat.

“Kami tidak memiliki cadangan. “Ini adalah hal paling mematikan yang pernah kami lihat di pusat data ini. Jadi datanya di Batam tidak sama persis dengan di Surabaya, jadi tidak bisa diarahkan,” kata Hinsa.

Tanggapan Hinsa disela oleh Dave, yang mengatakan kurangnya cadangan data mengecewakan. Padahal, pembangunan PDNS 2 memakan waktu bertahun-tahun, tidak hanya 1-2 hari, ujarnya.

Jadi tata kelolanya kita kurang, kita akui itu. Itu juga yang kita laporkan. Karena kami ditanya tentang masalah apa saja yang mungkin timbul. Itu salah satu yang kami laporkan,” jawab Hinsa.

Sidang ini semakin menarik dengan hakim ketua yang menginterupsi dan mengoreksi pernyataan BSSN bahwa persoalan data center adalah persoalan tata kelola.

Maksud saya, Pak. Kalau tidak ada sumber daya, itu bukan tata kelola, Pak. Bukan tata kelola, hanya kebodohan, kata Meutya.

Selain itu, informasi negara ini terintegrasi dengan seluruh kementerian/organisasi. Ia juga menyebut sejumlah kementerian yang tidak mematuhi angka tersebut.

“Sebenarnya yang selamat itu [mereka yang tidak ikut]. Saya dengar, orang yang paling cocok dengan imigran adalah yang paling aman,” imbuhnya.

“Jangan bilang governance itu kuncinya, karena itu bukan masalah tata kelola, itu soal kebodohan, data nasional tidak punya sumber daya, bukan berarti ada,” lanjut Meutya.

Hinsa bungkam dan tidak menanggapi komentar presiden dan melanjutkan diskusi lainnya.

Lihat Google News dan berita serta artikel lainnya dari WA