Business.com, Jakarta – Ekonom sekaligus pakar pajak TKN Hari Waibo menyuarakan pemerintah Provo-Gibran harus membayar pada tahun 2025 yang mencapai Rp 800,3 triliun.

Jumlah tersebut meliputi Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp705,5 triliun dan pinjaman senilai Rp94,83 triliun.

Drapad mengatakan, pihaknya sudah mengakui bahwa beban pelunasan utang tahun depan adalah jumlah pokok dan bunga pinjaman. Biaya tersebut didongkrak oleh utang senilai Rp 434 triliun pada tahun 2024.

Pihaknya juga memperingatkan adanya perlambatan ekonomi global. Oleh karena itu, pemerintah Provo-Gibran mengharapkan hal tersebut dengan meningkatkan pendapatan negara.

“Kalau kita tidak mampu mempengaruhi penerimaan negara, utang kita akan membengkak,” ujarnya dalam wawancara usai lokakarya nasional. Selasa (20/8/2024).

Menurut dia, banyak strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara. Pertama, mencari sumber pendapatan ad-hoc, seperti menggali SPT yang tertunda

Kemudian pemerintah dapat memperbarui sistem teknologi informasi (TI), khususnya pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN).

“PPN yang kita terima hanya berkisar 4%-5%, kalaupun harganya 11% berarti hilang 6%-7%. Ini tidak bisa karena pembebasan PPN, harus ada yang dilemahkan dalam sistem, kalau 1% [Salvation opportunity] bisa ditingkatkan, 1% PDB sudah Rp 200 triliun,” kata Drjad.

Selain pajak, Pemerintah Provo-Gibran juga akan mendorong Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dinilai mampu meningkatkan penerimaan negara.

Katanya PNBP itu besar, banyak yang tidak ditulis PNBP.

Risiko tidak berhasilnya meningkatkan pendapatan

Drapad mengatakan, jika pemerintah gagal meningkatkan APBN, maka pajak ad-hoc, perbaikan jadwal PPN, atau strategi lain yang mempengaruhi belanja negara.

Berdasarkan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.613,1 triliun pada tahun pertama pemerintahan Pravo. Jumlah tersebut merupakan pengeluaran terbesar sepanjang sejarah

Anggaran jumbo ini akan ditopang pendapatan senilai Rp2.996,9 triliun sehingga perkiraan defisit APBN 2025 sebesar 2,53% atau setara Rp616,2 dari produk domestik bruto (PDB) barang.

Dengan belanja yang jumbo dan utang yang tinggi, jika pemerintah tidak bisa meningkatkan pendapatan negara, maka berisiko menyusutkan negara.

“Tapi kalau kita tidak [meningkatkan pendapatan negara], maka kita harus menuju opsi kedua, kita harus menyesuaikan belanja negara. Artinya, sebagian bantuan akan dikurangi, pangan akan dikurangi, rencana untuk membangun yang lebih baik akan dikurangi. rumah sakit,” kata Dradpad.

Namun, ini adalah pilihan terakhir yang tidak boleh dianggap enteng, kata Dradpad. Menurut dia, pemerintah akan fokus meningkatkan penerimaan negara, seiring dengan peningkatan pendapatan negara pada tahun ini menuju target 2025.

“Sekarang kami konsentrasi mencari pemasukan negara,” kata Drajad (Surya Dua Artha Simanjuntak).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel