Bisnis.com, JAKARTA – Bank PT Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) buka suara terkait kemungkinan penurunan suku bunga kredit dalam waktu dekat.
Seperti diketahui, beberapa ekonom memproyeksikan BI Rate berpotensi turun pada kuartal IV 2024 seiring indikasi penurunan suku bunga yang akan dilakukan Bank Sentral AS (The Fed) pada September mendatang.
Pada saat yang sama, kebijakan penurunan BI Rate sendiri akan mampu mendorong perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit juga.
Meski demikian, Direktur Keuangan BNI Novita Anggraini mengatakan dalam menentukan suku bunga kredit, ada beberapa hal yang harus diperhatikan perseroan, antara lain daya saing produk dan layanan di pasar.
“Tingkat daya saing itu juga akan kita pertahankan, sehingga kebijakan penurunan suku bunga kredit di semua sektor tentunya akan kita evaluasi,” ujarnya dalam Public Expose Live, Jumat (30/8/2024).
Berdasarkan situs resmi BNI per 30 Juni 2024, suku bunga dasar kredit (SBDK) korporasi dan ritel masing-masing sebesar 8,05% dan 8,3% per tahun.
Untuk sektor konsumsi, SBDK KPR di BNI ditetapkan sebesar 7,4% dan non KPR sebesar 8,8% per tahun.
Manajemen menjelaskan, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) tidak memperhitungkan bagian utama risiko, yang besarnya tergantung penilaian bank terhadap risiko masing-masing peminjam, berupa situasi keuangan debitur, jangka waktu kredit. , prospek debitur. bisnis yang dibiayai, dll.
Oleh karena itu, suku bunga kredit yang dikenakan kepada peminjam belum tentu sama dengan suku bunga pokok pinjaman, tulis manajemen.
Seperti diketahui, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam RDG terakhir pada 21 Agustus 2024 mempertahankan BI rate tetap di angka 6,25%, meski gap penurunan semakin melebar.
Konfirmasinya, rupiah sedang mengalami tren penguatan setelah sempat menguat 5,34% pada Agustus 2024 ke level Rp 15.430 per dolar AS per 20 Agustus 2024.
Sementara itu, inflasi umum turun menjadi 2,13% (tahun ke tahun/YoY) pada bulan Juli 2024, turun dari 2,51% pada bulan Juni 2024, didorong oleh penurunan harga pangan pascapanen dan penurunan permintaan setelah Idul Adha.
Inflasi umum naik menjadi 1,95% (YoY) pada Juli 2024, didorong oleh kenaikan harga emas perhiasan, kopi, dan pendidikan.
Melihat dampaknya bagi negara, Perry tetap bersedia menurunkan BI Level meski ada tempat untuk Indonesia. Menurut dia, BI masih mencermati dan menunggu kondisi global.
“Kondisi globalnya bagaimana? Pertama, kejelasan FFR. Kedua tentu dampak suku bunga US Treasury apa, baik 2 tahun maupun 10 tahun. Ketiga pergerakan dolar,” jelasnya dalam menyampaikan hasil RDG, Rabu (21/8/2024).
Perry meyakini dolar akan mengalami tren pelemahan di masa depan. Saat ini tentu saja terdapat pelemahan dolar terhadap berbagai mata uang global yang dipengaruhi oleh Fed Funds Rate, US Treasury, namun juga risiko geopolitik yang mengarah pada pemilihan presiden AS.
Saat ini atau pada kuartal III 2024, Perry lebih memilih mempertahankan BI Rate untuk terus menstabilkan nilai tukar rupiah yang berdampak signifikan terhadap investasi portofolio dan perekonomian Indonesia.
“Rupiah yang menguat membuat harga-harga, terutama harga pangan dan lainnya menjadi lebih murah sehingga mendukung rendahnya inflasi, terutama yang berasal dari inflasi impor,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya tetap konsisten menurunkan BI Rate pada kuartal IV 2024.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel