Bisnis.com, Jakarta – Dana Moneter Internasional (IMF) merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mulai mengenakan pajak baru atas bahan bakar atau yang dikenal dengan bunkerfuel (BBM).
Jika kita melihat Strategi Pendapatan Jangka Menengah IMF tahun 2017, kita akan menemukan banyak langkah yang belum dilakukan pemerintah. Salah satunya terkait dengan pajak tidak langsung bahan bakar.
Keputusan No. 24/270 yang diterbitkan pada 7 Agustus 2024 di IMF Country Report menyatakan bahwa pemberlakuan pajak bahan bakar berpotensi meningkatkan pendapatan nasional sebesar 0,5% PDB.
Berdasarkan perhitungan PDB tahun 2023 sebesar Rp 20.892,4 triliun, berarti potensinya sekitar Rp 104,46 triliun.
Terkait target penerimaan pajak, pemerintah terpilih berjanji akan meningkatkan penerimaan pajak hingga 23% PDB. Sementara itu, penerimaan pajak Indonesia terhadap PDB akan mencapai 10,2% pada tahun 2023, turun dari 10,39% pada tahun 2022.
“Rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih rendah dan tertinggal dibandingkan negara berkembang lainnya,” tulis IMF.
Berdasarkan catatan, sejumlah kebijakan dalam Strategi Jangka Menengah tahun 2017 berstatus “pending” atau belum terlaksana, seperti penurunan ambang batas bagi pengusaha kena pajak, penurunan ambang batas bagi usaha kecil, menengah, dan mikro, serta penggantian PPnBM dengan pajak pertambahan nilai dan pajak konsumsi kendaraan, penerapan pajak konsumsi bahan bakar, penerapan pajak minimum alternatif, pengurangan pajak transaksi properti (PPN dan BPHTB) dan peningkatan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Jika pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan yang belum diterapkan tersebut, diharapkan pendapatan di Indonesia mampu meningkat hingga 6,1% PDB.
Di sisi lain, rencana pengenaan tarif cukai minuman kemasan plastik dan bergula (MBDK) belum terlaksana. Rencananya, tarif cukai plastik akan diterapkan pada empat kategori produk, yaitu kantong plastik, kemasan plastik berlapis, polistiren (styrofoam), dan sedotan plastik.
Untuk minuman siap minum, produk yang dikenakan cukai antara lain jus kemasan yang dimaniskan dengan gula, minuman energi, kopi, teh, minuman ringan dan minuman lainnya, selain minuman khas Asia seperti minuman ringan.
Pasalnya, pemerintah sangat berhati-hati dalam menentukan apakah suatu barang dikenakan pajak. Nirwala Dwi Hiryanto, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Kepabeanan dan Pajak Kementerian Keuangan, menjelaskan banyak faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan suatu barang kena cukai, mulai dari faktor ekonomi. situasi masyarakat terhadap kondisi industri dan aspek kesehatan.
“Pemerintah sangat berhati-hati dan mempertimbangkan semua aspek seperti situasi ekonomi masyarakat, negara, industri, aspek kesehatan, lingkungan dll. “Kami akan mendengarkan keinginan para pemangku kepentingan, dalam hal ini Kongo dan Republik Demokratik Kongo. Dewan Perwakilan Rakyat. “Masyarakat luas,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (24 Juli 2024).
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel