Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan proyek pengurangan batubara menjadi dimetil eter (DME) atau gas batubara akan terus berlanjut selama masa jabatan Presiden, Yang Mulia Prabowo Subianto.

Batubara sendiri masih tersedia. Meski demikian, Bahlil juga menegaskan pihaknya akan mendukung keruntuhan tersebut.

“Ini adalah salah satu program di masa depan di mana kami akan mendorong masyarakat untuk berhenti menggunakan batubara. Kita akan lebih berupaya lagi,” kata Bahlil dari Kantor Kementerian ESDM, Senin (11/11/2024). ).

Ia juga menambahkan, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara [PKP2B] yang sudah ada, yang telah diperluas hingga mencakup Izin Khusus untuk Melakukan Kegiatan Pertambangan (IUPK), harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip rendah energi.

Meski Bahlil mengatakan, produk akhir listrik tingkat rendah tidak harus berupa DME. DME sendiri sudah menjadi incaran sebagai pengganti liquefied petroleum gas (LPG). 

“Penurunan itu suatu keharusan, tapi tidak harus DME,” kata Bahlil.

Proyek gasifikasi batuan saat ini masih menghadapi banyak tantangan. Bahkan, ada kabar ada pihak yang berupaya menentang upaya pemerintah tersebut.

Sementara itu, Bahlil mengatakan banyak pihak yang berupaya menghalangi penyelesaian proyek gasifikasi batu bara DME.

Bahkan, DME menjadi salah satu sumber pengganti LPG sekaligus mengurangi impor LPG ke Indonesia yang saat ini tercatat sebesar 6 juta ton.

“Dulu Presiden [Jokowi] sudah berhasil mengembangkan DME untuk mengubah batubara kalori rendah menjadi LPG, tapi saya tahu ada yang menghentikan saya saat saya menjabat Menteri Investasi,” kata Bahlil sebelumnya (26 September 2024). .

Usai dilantik menjadi Menteri ESDM pada Agustus 2024, ia mulai berpikir dan tak segan menyerang pihak-pihak yang mempermainkan proyek tersebut. 

“Tidak mungkin, dulu saya sendirian, sekarang mohon maaf, produk ini ada patennya, produk ini patennya kecil,” jelasnya.

Pengembangan DME dimaksudkan untuk menggantikan LPG yang masih diekspor. Kementerian ESDM mencatat Indonesia masih bisa mengekspor LPG hingga 6 juta ton per tahun senilai US$3,45 miliar. 

Bahkan, Indonesia harus mengeluarkan devisa ke luar negeri untuk mengimpor LPG, menghabiskan sekitar Rp450 triliun setiap tahunnya untuk membeli minyak dan gas, termasuk LPG. 

Namun banyak proyek DME yang sedang berjalan belum membuahkan hasil nyata. proyek milik PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) kepada PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) juga berhenti.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel