Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan situasi industri TPT Tanah Air yang masih terdampak badai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Vice President API David Leonardi mengatakan, jumlah pekerja yang terkena PHK di industri tekstil dan pakaian jadi (TPT) Indonesia berjumlah sekitar 40.000 orang pada Agustus 2024.

Namun di industri TPT sendiri ada pekerja tetap, kontrak, dan freelance, jelas Bisnis David. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menentukan dengan pasti jumlah redundansi yang tercatat, namun kemungkinan besar jumlah redundansi sebenarnya lebih tinggi dari angka tersebut. , dikutip Senin (10 Juli 2024).

Ia menambahkan, tantangan industri TPT datang dari banyak sisi. Misalnya saja utilitas industri yang menurun dan kode HS yang tidak lengkap, sehingga Indonesia kebanjiran tekstil impor ilegal.

“Selanjutnya, jaringan pipa gas ke pusat industri TPT di wilayah Bandung Raya dan Solo Raya tidak dilonggarkan, beban upah buruh terus meningkat, regulasi kualitas pengelolaan limbah, dan lain-lain. 

Menurut dia, berbagai permasalahan tersebut, ditambah dengan kondisi perekonomian Indonesia yang belum membaik, menyebabkan penurunan pemanfaatan di industri TPT yang berujung pada rasionalisasi tenaga kerja. 

David mengatakan jumlah PHK kemungkinan akan meningkat dari jumlah terakhir yang tercatat. Namun angka tersebut sulit ditentukan karena sebagian pekerja di industri TPT mempunyai status pekerja tetap dan tidak tetap. 

“Para pemangku kepentingan dari kementerian atau organisasi terkait perlu bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini agar semua orang memiliki visi dan misi yang sama untuk melindungi pasar dan mendorong kegiatan nasional,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Bisnis, ada beberapa pabrik tekstil yang tutup atau bangkrut, antara lain PT Pandanarum Kenanga Textile (Panamtex) pada September 2024, PT Cahaya Timur Garmindo (CTG) pada Maret 2024, dan PT Sampangan Duta Panca Sakti Tekstil (Dupantex). ) telah berhenti beroperasi per 6 Juni 2024. 

Ia menjelaskan mengapa sektor manufaktur Indonesia masih stagnan, apalagi impor semakin meningkat sehingga berdampak pada industri dalam negeri. Data Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia terus turun di bawah 50, terutama 49,2 pada September 2024. 

Meskipun indeks aktivitas manufaktur sedikit meningkat dari 48,9 bulan lalu, indeks ini terus menurun selama tiga bulan terakhir.

Ia menambahkan, agar produksi bisa kembali meningkat, pemerintah harus memastikan perlindungan pasar industri dalam negeri, terutama mengingat impor yang meningkat.

“Hal ini disebabkan oleh penurunan impor akibat inkonsistensi peraturan yang berlaku dan masifnya impor dengan harga di bawah rata-rata harga produksi industri di pasar dalam negeri,” lanjutnya. 

Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan kebijakan yang konsisten yang mendukung industri dan pertahanan untuk mendongkrak kembali indeks PMI.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel