Bisnis.com, JAKARTA – Pasar asuransi non-jiwa di industri garansi disebut-sebut menjadi tantangan bagi pertumbuhan bisnis asuransi. Di sisi lain, pemerintah menetapkan target yang tinggi agar penetrasi asuransi mencapai 3,5% pada tahun 2028.

General Manager Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan industri asuransi saat ini sedang menjajaki struktur pasar yang saling bersinggungan tersebut.

“Harus diakui ada yang sedikit jaminannya dengan kami. Sebaliknya, yang ada di asuransi itu kecilnya di jaminan,” kata Budi kepada Bisnis, dikutip Sabtu (19/10/2024).

Berdasarkan data OJK, pada periode 2020-2023, pendapatan imbal hasil penjaminan (IJP) gagal memberikan selisih atau gap terhadap pendapatan premi asuransi kredit. Misalnya pada tahun 2023, premi asuransi kredit sebesar Rp30,76 triliun (80%), dan IJP hanya sebesar Rp7,92 triliun (20%).

Budi menjelaskan, hasil kajian pasar diharapkan dapat memberikan regulasi yang lebih jelas mengatur pasar kedua industri tersebut. 

Sekadar informasi, sejak diterbitkannya UU Penjaminan, perusahaan asuransi non-jiwa dinilai sudah tidak mampu lagi memasarkan produk jaminan atau surety. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2020, kegiatan suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan penjaminan dan asuransi.

Akibat adanya tumpang tindih pasar, OJK berupaya mengembalikan kemurnian industri penjaminan dan industri asuransi sesuai karakteristiknya masing-masing. Hal ini dilakukan dengan menegaskan bahwa jaminan harus diberikan oleh perusahaan penjaminan. 

Dengan demikian, segmen perusahaan non penjaminan seperti perusahaan asuransi non jiwa yang ingin menjalankan usaha penjaminan harus membentuk unit usaha penjaminan (UUP), mendirikan anak perusahaan penjaminan, atau mengalihkan portofolio bisnis penjaminannya kepada perusahaan penjaminan.

Diakui Budi, jika hal ini diterapkan sedikit banyak akan berdampak pada industri asuransi, khususnya industri asuransi kredit.

“Iya lumayan, lumayan. Karena kontribusi bidang usaha [asuransi kredit] cukup tinggi, besar,” kata Budi.

Dalam dokumen peta jalan pengembangan dan penguatan industri penjaminan Indonesia 2024-2028, OJK menyebutkan persaingan pasar perusahaan asuransi non-jiwa menjadi tantangan utama yang menghambat pertumbuhan industri lembaga penjaminan dalam memberikan jaminan kredit atau pembiayaan. lini bisnis utama.

“Hal ini menunjukkan premi asuransi kredit 3,88 kali lebih besar dibandingkan IJP perusahaan penjaminan,” tulis roadmap tersebut.

Kecilnya IJP dibandingkan nilai asuransi kredit dan premi surety menjadi tren sejak tahun 2020. Pada tahun 2020, nilai asuransi kredit dan premi surety sebesar Rp 23,71 triliun dibandingkan IJP yang hanya Rp 3,30 triliun. Jadi pada 2021 nilainya masing-masing menjadi Rp 17,41 triliun berbanding Rp 5,60 triliun. Dan pada tahun 2022 masing-masing menjadi Rp 18,02 triliun dibandingkan Rp 6,99 triliun.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel