Bisnis.com, Jakarta – Pasar saham dan obligasi Indonesia mendapat angin segar dari kebijakan suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed yang diperkirakan akan diturunkan pada tahun ini. Saat ini, suku bunga dana federal masih berada di kisaran 5,25%-5,5%.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global akan tumbuh sebesar 3,2% tahun ini, kata Freddy Teja, kepala spesialis investasi di Manulife Asset Management Indonesia (MAMI). Penopang utamanya adalah kawasan negara berkembang yang pertumbuhannya diperkirakan mencapai 4,2%, disusul kawasan negara maju sebesar 1,7%.  

Menariknya, angka-angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang dikeluarkan pada Januari tahun lalu, terutama jika dibandingkan dengan kekhawatiran resesi global yang muncul pada tahun lalu, kata Freddie Selasa (4/6/2024).

Lebih lanjut ia mengatakan, meski inflasi global sudah terkendali, namun bank sentral dunia belum mampu menurunkan suku bunganya karena cenderung menunggu langkah bank sentral AS atau Federal Reserve. 

Di sisi lain, The Fed mengindikasikan masih memerlukan waktu untuk lebih yakin bahwa inflasi domestik memang berada dalam tren menurun sebelum melakukan penurunan.  

Situasi ini memaksa pasar untuk menyesuaikan ekspektasi suku bunga dan meningkatkan volatilitas pasar saham, obligasi, dan mata uang secara global, Asia, dan Indonesia, ujarnya.

Namun, kabar baiknya adalah Ketua Fed Jerome Powell mengumumkan bahwa meskipun suku bunga tidak akan turun secepat perkiraan pasar sebelumnya, kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut sangat kecil. Artinya, langkah selanjutnya adalah menurunkan suku bunga. 

Di tengah penundaan penurunan suku bunga The Fed yang berdampak pada sentimen jangka pendek, fundamental Indonesia sebenarnya tetap sehat, ujarnya. Beberapa di antaranya menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil, inflasi terkendali, persepsi risiko juga baik, dan pertumbuhan kredit masih cukup sehat.

Dolar AS dan imbal hasil Treasury AS naik setelah penundaan penurunan suku bunga dana federal. Ditambah dengan ketegangan geopolitik pada April 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok ke kisaran Rp 16.300. Terakhir, Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan advance dengan menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25%.

“Untuk pasar obligasi, upaya BI untuk mempertahankan nilai tukar rupee dan komentar Ketua RBI baru-baru ini bahwa kemungkinan besar suku bunga The Fed tidak akan naik di masa depan dapat menjadi pendukung dalam jangka pendek,” kata Freddie. 

Hal ini akan terlihat jelas pada pertengahan Mei 2024, ketika imbal hasil obligasi mulai turun dan nilai tukar rupee mulai membaik secara bertahap. Menurut dia, hal tersebut sejalan dengan data historis, dimana apresiasi rupee dan apresiasi pasar obligasi cenderung linier.

“Pada saat yang sama, di pasar saham, fundamental ekonomi yang terjaga dan valuasi yang rendah membuka peluang bagi investor yang ingin berinvestasi lebih awal untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan suku bunga di akhir siklus adalah kebijakan ekonomi dan memilih pemerintahan yang kredibel dan mampu “Ini juga akan menjadi insentif positif bagi lini depan.”

Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 1,33% menjadi 7.129,51 sejak sesi I perdagangan Selasa (6/4/2024). Namun secara year-to-date masih turun 1,97%.

Sedangkan untuk obligasi, Indeks Harga Saham Gabungan Indonesia (ICBI) naik 0,06% menjadi 380,71 pada 3 Juni 2024. Namun, imbal hasil obligasi Treasury 10-tahun naik menjadi sekitar 6,97%.

———

Penafian: Berita ini tidak dimaksudkan untuk mendorong pembelian atau penjualan saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel