Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Komite Kesembilan DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan Penilaian Status Kesehatan (KRIS) BPJS akan dijadikan titik tolak kereta listrik kabin ekonomi (KRL) sebelumnya hingga perubahan saat ini. .

Melki memberikan gambaran KRIS dulu dan sekarang yang akan diimplementasikan sebagai bus irit, mengedepankan kenyamanan dibandingkan menjadikannya sekelas.

“Nah, model inilah yang ingin kita ciptakan dalam konteks KRIS di rumah sakit kita ini, agar masyarakat yang naik kelas ekonomi pun bisa merasa nyaman. Dia [KRL] sampai tujuan, lalu juga memiliki ciri-ciri yang kita inginkan. di sini Kondisi yang sama tercipta di KRIS, jadi keadaannya begini, tidak dilakukan di level yang sama, ada bisnis yang masih bisnis, eksekutifnya masih Jumat (17/17) Melki di BPJS Kesehatan Jakarta Kantor Pusat menghadiri peluncuran aplikasi dan buku: 5/2024).

Melki mengatakan, kereta ekonomi selama ini ramai. Namun hal itu berubah setelah normalisasi yang dilakukan oleh Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia saat itu.

“Dulu kereta ekonomi kita semrawut sekali. Di jaman Park Zunan itu lumrah. Begitu juga di kelas ekonomi. Orang yang naik kereta harus punya tiket dan tempat duduknya harus kosong, jadi di kelas ekonomi. Selain itu, ada beberapa yang harus punya “yang namanya alat ventilasi, bahkan AC,” ujarnya.

Melki menjelaskan, alasan dibuatnya KRIS karena lingkungan rumah sakit kurang dilengkapi fasilitas kesehatan mitra BPJS level 3, seperti tidak ada ventilasi dan tidak ada pemisahan antara orang tertular dan tidak tertular.

Ia juga mengungkapkan, ada bangsal tingkat ketiga yang diisi 12 tempat tidur.

“Juga misalnya, ada kamar di Kelas 3 yang tidak ada ventilasi sama sekali, dan ada kamar lain dengan 12 tempat tidur. Di dalamnya tidak ada kamar mandi. Penerangannya kurang bagus, sulit, tidak ada tirai, dan tidak ada kamar mandi.” Dia berkata, “Tidak ada hubungan antara pria dan wanita. Tidak ada isolasi antara orang yang terinfeksi dan tidak terinfeksi.”

Ia mengatakan semua rumah sakit wajib menerapkan KRIS, termasuk yang tidak bermitra dengan BPJS Kesehatan.

“Jadi bukan kategorinya sama, tapi 12 parameter yang saya sebutkan tadi, dan parameter lainnya seperti parameter di lapangan, tersedia untuk semua rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS dan yang tidak bekerja sama dengan BPJS. Maka mereka harus melakukan hal seperti ini,” katanya. ​

Melki juga mengatakan, anggaran perampingan rumah sakit ditetapkan sesuai standar yang diterapkan pemerintah sekitar 2 miliar rupiah.​

“Kita sudah mencoba, misalnya dari 15 RS yang sudah diuji, kita ke Lemena di Ambon yang saya kelola sendiri, dan hitung sekitar 2 miliar untuk mempermudah semuanya, dan anggarannya cukup,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, KRIS lebih mengedepankan standarisasi pelayanan dibandingkan hierarki.​

Melki mengatakan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) akan menentukan besaran iuran yang ditetapkan bagi peserta pada pelaksanaan KRIS. Selain itu, petugas kesehatan juga akan memberikan pelayanan yang sama, yang membedakan hanyalah kenyamanan.​

“Dokter, perawat, dan bidan memberikan pelayanan yang sama.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel