Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyoroti ancaman defisit yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta kemungkinan peningkatan iuran sebagai langkah penyelesaian permasalahan tersebut.
Anggota Komite IX DPR RI Edy Wuryanto mengatakan, persoalan kenaikan iuran merupakan isu sensitif sehingga meminta BPJS Kesehatan berhati-hati dalam mengambil keputusan tersebut.
“Saya kira kita harus hati-hati [menaikkan biaya], apalagi Pak Prabowo baru saja menjabat. “Soal kenaikan biaya tentu sangat sensitif, terutama bagi peserta mandiri,” kata Eddy.
Edy juga mengakui, kenaikan tarif tidak bisa dihindari karena sudah diatur dalam aturan tersebut dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir terjadi pada tahun 2020. Dalam aturan tersebut juga disebutkan bahwa kenaikan tarif tersebut harus dievaluasi setiap dua tahun sekali.
“Saya kira hal-hal itu benar, tapi dalam pernyataan kenaikan suku bunga, kita harus hati-hati,” tambah Eddy.
Sebelum ada kenaikan tarif, Edy menyarankan beberapa opsi yang bisa menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan. Yang pertama adalah manajemen mitigasi risiko yang lebih baik.
Hal ini berdampak pada Peserta Penerima Gaji (PPU), dimana 35% di antaranya menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI). Jika ini benar, maka telah terjadi penipuan. Oleh karena itu, Edy meminta bantuan BPJS Kesehatan untuk mengatasi permasalahan penipuan tersebut.
“Dari situ kita harus bisa menghasilkan pendapatan untuk mengurangi [potensi defisit] Rp 20 miliar,” kata Eddy.
Edy juga meminta BPJS Kesehatan mengoptimalkan bagian PPU. Ia menyoroti, ada potensi 50 juta pekerja yang bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan potensi pendapatan Rp 90 triliun.
“Dengan pendapatan bulanan Rp 3 juta dikalikan 5% lalu 12%, potensi PPU-nya Rp 90 triliun. Jumlah ini tiga kali lipat dari pendapatan PPU saat ini yang hanya Rp 30 miliar. Artinya ada kesenjangan peningkatan pendapatan dari sektor PPU, ujarnya.
Edy juga menyoroti temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai klaim penipuan yang mencapai Rp 20 miliar.
Ia mendesak BPJS Kesehatan dan pemerintah tegas dalam memberantas hal tersebut. Selain itu, praktik-praktik berbahaya dalam domain ini, seperti klaim duplikat atau kuitansi palsu, berdampak pada pembengkakan biaya.
Selain itu, Edy juga menyarankan untuk menggabungkan data klaim BPJS kesehatan dengan data asuransi kesehatan swasta, sehingga dapat memberikan gambaran kasus penipuan yang lebih akurat.
Faktanya, faktanya sudah jelas. Pertanyaannya, apakah pemerintah mau serius menangani penipuan ini sehingga tidak perlu menaikkan biaya, kata Eddy.
Eddy juga menyoroti keterlambatan pembayaran pajak yang perlu mendapat perhatian khusus. Ia menyebutkan, ada sekitar 49 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang menunggak, selain 14 juta peserta mandiri yang juga menunggak.
“Jika tarif naik, ada risiko 14 juta peserta meninggalkan BPJS Kesehatan. “Hal ini tentu berpotensi menambah beban keuangan bagi mereka yang sudah berjuang,” ujarnya.
Eddy menyarankan pemerintah melakukan intervensi khusus bagi peserta independen yang benar-benar kesulitan membayar iuran. “Mungkin bisa dipertimbangkan untuk memberikan diskon atau menghapuskan biaya bagi yang tidak mampu membayar, sehingga sebelum ada kenaikan biaya, peserta yang kesulitan mendapat perlakuan khusus,” imbuhnya.
Sementara itu, anggota Komite IX lainnya, Indah Kurnia, menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana BPJS kesehatan.
Ia menanyakan di mana dana yang terkumpul akan ditempatkan, apakah dalam bentuk obligasi pemerintah (SBN), deposito, reksa dana, atau instrumen pasar uang lainnya. Menurutnya, kejelasan ini penting untuk memastikan sumber daya dikelola dengan aman dan tidak menimbulkan risiko tinggi.
“Dalam situasi defisit ini kita perlu mengetahui bagaimana dana ditempatkan, apakah pada instrumen yang aman atau pada instrumen yang berisiko tinggi. “Hal ini untuk memastikan pengelolaan dana tidak mengarah pada pengambilan keputusan yang salah atau mengandung unsur penipuan,” kata Indah.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA