Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Gas Society (IGS) tengah mempertimbangkan pembatasan kuota alokasi gas bumi PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN merupakan langkah tepat dalam rangka berkurangnya pasokan gas bumi dari hulu migas.
Senior Advisor Indonesia Gas Society (IGS) Salis S. Aprilian mengatakan, selain untuk menjaga keandalan infrastruktur berkelanjutan, pertimbangan kuota gas juga untuk menjaga aspek ekonomi dan komersial bahan baku dalam rangka transisi energi menuju energi ramah lingkungan. jaringan. nol emisi. (NZE).
Menurut saya [kebijakan PGN] sudah benar. Alasannya bukan hanya masalah teknis saja, tapi PGN juga harus memperjelas bahwa ada aspek penting lainnya yaitu ekonomi dan komersial, kata Salis, dikutip Jumat (17.5/ 2024).
Salis menjelaskan, secara teknis PGN yang mengelola midstream industri gas harus memastikan rantai pasok berjalan lancar dan berkelanjutan.
Selain itu, jaringan infrastruktur pipa seperti yang dimiliki PGN berada dalam tekanan untuk memenuhi standar aliran tertentu agar tetap aman dan andal.
Selain itu, dari sudut pandang ekonomi dan komersial, PGN yang kegiatannya meliputi pengelolaan infrastruktur aliran gas dari hulu ke hilir, mempunyai tanggung jawab untuk menjaga pemanfaatan energi tersebut secara luas.
Lebih lanjut Salis menjelaskan, dalam perjanjian gas ada pihak-pihak yang terkena dampak skema “take or pay” dan/atau “deliver or pay”.
Artinya, jika PGN masih bergantung pada kegiatan hulu dari KKKS [kontraktor kontraktor koperasi], maka PGN harus pintar-pintar menjaga stabilitas pasokan di sisi hilir, yakni ke pelanggan gas industri yang sangat membutuhkan bahan baku dan kebutuhan bahan bakar. ” jelasnya.
Di saat yang sama, PGN juga harus memikirkan kemungkinan melanjutkan program harga gas keekonomian pemerintah untuk industri yang dikenal dengan Harga Gas Bumi Tetap (HGBT).
Dalam kasus ini, PGN terkena dampak di beberapa ruas jalur transmisi dan distribusinya. Menurut Salis, program HGBT juga sangat penting dengan tidak mengabaikan aspek keekonomian dan komersial gas bumi.
“Kebijakan HGBT pada masa transisi ini harus mampu meningkatkan dan memperkuat daya saing industri hilir, dengan langkah yang lebih adil,” ujarnya.
Terkait penurunan produksi migas, Salis menjelaskan hal tersebut merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Ia meyakini diperlukan upaya awal untuk menjadi yang terdepan dalam rantai pasokan hulu
Ia mewanti-wanti berbagai pihak agar tidak terbawa suasana dengan penemuan-penemuan besar eksplorasi gas belakangan ini. Selain itu, tidak diikuti dengan perencanaan eksploitasi dan produksi yang memadai, sehingga dapat segera dimanfaatkan.
Wajar jika perusahaan hulu migas memerlukan rangsangan politik dan pengamanan komersial agar hasil eksplorasinya terjamin mendapatkan pasar yang menguntungkan, ujarnya.
Khususnya untuk mencari cadangan gas alam. Untuk biaya eksplorasi dan produksi minyak yang sama, kata Salis, ternyata harga komersialnya jauh berbeda.
Selain itu, regulasi harga gas juga belum berpihak pada seluruh sektor hulu, tengah, dan hilir, jelasnya.
Oleh karena itu, kebijakan pembatasan alokasi PGN saat ini patut mendapat dukungan banyak pihak. Selain itu, gas alam banyak digunakan sebagai energi fosil ramah lingkungan dalam program energi transisi NZE.
“Kebijakan pembatasan kuota gas masih masuk akal jika dibarengi dengan informasi yang transparan, menunggu pembangunan infrastruktur LNG untuk mengantisipasi penurunan produksi gas nasional,” tutupnya.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel