Bisnis.com, JAKARTA – Banyak negara, termasuk Indonesia, mulai khawatir dengan konflik sengit antara China dan Amerika Serikat.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi dan Hukum Indonesia, mengatakan dampak perang dagang kedua negara yang merupakan mitra utama Indonesia ini pasti akan ada meski tidak terlihat secara nyata.
“Menurut saya, pemerintah dan pelaku usaha harus mulai membedakan mitranya dan tidak hanya mengandalkan Amerika Serikat dan China, dan menurut saya perang dagang ini menjadi pendorong bagi Indonesia untuk menjaring lebih luas,” ujarnya dalam Bisnis. Minggu (6 September 2024).
Di sisi lain, kebijakan Presiden AS Joe Biden yang mengenakan pajak impor yang tinggi terhadap produk-produk Tiongkok dapat menjadi pukulan telak karena Tiongkok mungkin akan mengalihkan pangsa pasar produk-produknya ke berbagai negara, dan Indonesia menjadi salah satu sasarannya.
Hal ini diperkirakan akan memulai peningkatan barang konsumsi dari Tiongkok. Oleh karena itu, pemerintah dipandang perlu memperkuat atau melindungi industri dalam negeri.
Diketahui, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor dari Tiongkok menyumbang 33,06% terhadap ekspor nonmigas year-on-year pada April 2024, melebihi 31,25% pada bulan lalu.
Nilai impor minyak dan gas tahunan dari Tiongkok meningkat menjadi $4,33 miliar pada April 2024, naik dari $4,14 miliar pada April 2023.
Di sisi lain, Zulfikar mendorong Indonesia untuk memperluas mitra dagangnya dan tidak lagi bergantung pada negara. Artinya, potensi negara-negara emerging market harus dimanfaatkan untuk menjaga surplus perdagangan.
“Langkah ini bisa dilakukan Indonesia untuk mempersatukan mitra-mitranya dan meningkatkan daya saing produk, jadi ini peluang bagi kita dan peluang ini patut kita manfaatkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terus mewaspadai perselisihan dagang Tiongkok-AS dan ketidakpastian kondisi perekonomian global akibat perpecahan tersebut.
Situasi global saat ini adalah rantai pasokan global menghadapi risiko, tarif impor AS telah dinaikkan beberapa kali, harga komoditas meningkat, dan inflasi AS sulit untuk diturunkan.
“Dengan adanya tarif 4x lipat terhadap barang-barang Tiongkok pada produk kendaraan listrik dan ketidakpastian dampak dari gangguan tersebut, harga produk cenderung naik,” kata Sri Mulyani.
Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan AS Kahayanto sempat berbicara mengenai topik hangat dalam hubungan perdagangan Tiongkok-AS. Menurutnya, RI tetap terbuka terhadap seluruh mitra dagang secara global.
“Saat ini China sendiri memang mitra dagang terbesar kita. Saya kira kalau tidak ada pilihan, kita harus memanfaatkan posisi Indonesia di dunia,” ujarnya terakhir kali.
Eko menilai Indonesia saat ini berada pada posisi kuat meski mulai menghadapi sejumlah hambatan perdagangan yang perlu diatasi. Meski demikian, pemerintah terus memperkuat perdagangan dan kerja sama kedua negara, seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA).
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel