Bisnis.com, JAKARTA – Penurunan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed dinilai akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Di sisi lain, terdapat risiko yang perlu diwaspadai di era suku bunga rendah ini.

Menteri Keuangan (Menkew) Shri Mulyani Indrawati mengungkapkan, langkah The Fed yang memangkas suku bunga (FFR) sebesar 50 bps sesuai ekspektasi. 

Ia berharap pemotongan tersebut berdampak pada perekonomian AS dan negara lain, termasuk Indonesia. Pergerakan FFR menuju level 4.75% – 5% merupakan tanda selesainya level yang lebih tinggi untuk tren yang lebih panjang. 

“Ini adalah langkah yang sudah diperkirakan dan tentu saja dampaknya terhadap perekonomian diharapkan positif, baik terhadap perekonomian Amerika maupun seluruh dunia. “Jadi pengurangan ini merupakan langkah yang sangat kita harapkan,” ujarnya di kompleks perakitan, Kamis (19 September 2024). 

Pasalnya, status yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama menjadi salah satu faktor yang berdampak besar terhadap kinerja perekonomian di negara berkembang. 

Seperti diketahui, pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang berakhir pada Rabu (18/9) waktu AS, The Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga dasar sebesar 50 bps ke kisaran 4,75% – 5%. . .

Selain menyetujui penurunan suku bunga, pejabat The Fed juga merilis proyeksi suku bunga utama dalam beberapa tahun ke depan atau yang disebut dengan spot rate. 

Perkiraan tersebut tercantum dalam laporan Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) yang dirilis oleh The Fed. Dalam laporan tersebut, The Fed memperkirakan bahwa suku bunga utamanya akan turun setengah poin persentase, atau 50 basis poin, pada akhir tahun 2024.

Selain itu, pada tahun 2025 akan terjadi penurunan persentase poin penuh atau 100 basis poin. Dengan demikian, suku bunga The Fed diperkirakan akan berada pada kisaran 4,25%-4,5% pada akhir tahun 2025. 

Penurunan tersebut kemudian akan berlanjut sebesar 50 basis poin pada tahun 2026. Dengan demikian, pada akhir tahun 2026, suku bunga dasar AS diproyeksikan sebesar 2,75%-3%. 

Namun, The Fed juga memperingatkan bahwa prospek masa depan penuh dengan ketidakpastian. 

Shri Mulyani juga mengingatkan bahwa penurunan suku bunga tidak serta merta memperbaiki perekonomian. Sebab, kondisi perekonomian global masih penuh tantangan.

“Bank sentral telah mulai menurunkan suku bunga dari situasi yang lebih tinggi dan berjangka panjang, namun jalan ke depan masih penuh tantangan.” “Potensi volatilitas pasar keuangan dan arus global masih tetap menimbulkan risiko, terutama bagi negara berkembang,” jelas Sri Mulyani. 

Shri Mulyani menjelaskan pertumbuhan ekonomi global diperkirakan masih lemah, dengan pertumbuhan sebesar 3,2 persen pada tahun 2024 dan 3,3 persen pada tahun 2025.

Sementara itu, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Asuaibi mengatakan penurunan suku bunga besar-besaran yang dilakukan The Fed menimbulkan kekhawatiran terhadap perlambatan perekonomian AS.

Hal ini terutama terkait dengan pasar tenaga kerja, yang berisiko menyebabkan lebih banyak hambatan perekonomian dalam beberapa bulan mendatang.

“Meskipun suku bunga rendah biasanya menjadi pertanda baik bagi aktivitas perekonomian, namun penurunan suku bunga The Fed yang agresif telah menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya dalam keterangan tertulis.

Dampak terhadap barang

Di sisi lain, dampak penurunan suku bunga global dinilai minim terhadap harga komoditas, khususnya minyak mentah. Keputusan Bank Sentral AS (Federal Reserve Bank) dinilai gagal membangkitkan sentimen positif di pasar dan justru meningkatkan kekhawatiran terhadap gejolak ekonomi yang terjadi saat ini.

Harga minyak ditutup setelah The Fed memangkas suku bunga utamanya. Hal ini karena penurunan suku bunga yang lebih besar dari perkiraan oleh Federal Reserve telah meningkatkan kekhawatiran terhadap perekonomian Amerika.

Pergerakan harga minyak cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti permasalahan pasokan di AS dan krisis di Timur Tengah.

Pada perdagangan Jumat (20/09/2024), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 0,08% menjadi US$72,01 per barel pada pukul 07.59 WIB. Di sisi lain, harga minyak Brent turun 0,4% menjadi 74,57 dolar per barel.

Menurut Bloomberg, serangkaian ledakan radio dan pager di Lebanon telah menimbulkan kekhawatiran akan perang besar antara Hizbullah dan Israel. Ada kekhawatiran konflik yang lebih luas dapat melibatkan Iran dan mengancam aliran minyak mentah dari wilayah tersebut.

Analis Qisheng Futures Co, Gao Jian, mengatakan masih harus dilihat apakah penurunan suku bunga The Fed akan mengurangi risiko penurunan harga minyak secara makro.

“Fundamental masih bearish dan pasar harus tetap waspada terhadap risiko yang masih cenderung ke bawah,” jelasnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel