Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Koordinator Pangan mengajak investor untuk menyumbangkan dananya guna mendukung program Pangan Gizi Gratis (MBG).

Menteri Koordinator (Menko) Pangan Zulkifli Hasan mengatakan, belum ada aturan mengenai sumbangan dana untuk program MBG yang diusung Presiden Prabowo Subianto, sehingga menurutnya investor bisa ikut serta.

“Kalau ada yang mau menyumbang [dana makanan bergizi gratis], tidak diatur, silakan saja. Lain soal itu,” kata Zulhas saat ditemui di Kementerian Perdagangan di Jakarta, Rabu (30/10/2024).

Sementara itu, Zulhas menjelaskan Badan Pangan mendapat anggaran sebesar Rp71 miliar, salah satunya untuk program MBG. Menurut dia, alokasi anggaran yang ditetapkan sudah sesuai dengan rencana awal.

Badan Gizi Rp71 triliun terdiri dari Program Pemenuhan Gizi Nasional Rp63,35 triliun. Tapi ada juga dukungan manajemen Rp7,43 triliun, ujarnya.

Namun, dia mengaku tidak membahas secara detail bidang prioritas yang akan mendapat program MBG.

Nanti lebih detailnya. Kita bahas [anggaran] keseluruhannya dulu, ”ujarnya.

Di sisi lain, Zulhas juga mengungkapkan, pemerintah sudah mencanangkan program tiga juta sawah atau perluasan 150.000 hektare. Ada pula intensifikasi atau produktivitas seluas 80.000 hektar sehingga total anggaran yang digelontorkan mencapai Rp15 triliun.

Sebelumnya, pengamat pertanian menilai program MBG yang diusung Presiden Prabowo Subianto bisa mendongkrak jumlah petani, termasuk petani milenial. Sedangkan peningkatan produksi memerlukan permintaan dari petani.

Pengamat Center for Economic (Basic) Indonesia Reforms Eliza Mardian menilai, jika pemerintah bisa memberikan keamanan pasar dan harga melalui program MBG, salah satunya melalui skema contract farming, maka akan mendorong petani untuk memperluas penanaman padi.

“Kalau ada skema seperti contract farming, generasi muda akan tertarik menjadi petani milenial untuk menambah jumlah petani muda di Indonesia,” kata Eliza kepada Bisnis, Senin (28/10/2024).

Sesuai rencana MBG, Eliza menilai pemerintah harus meningkatkan produktivitas (intensifikasi) atau memperluas lahan (ekstensifikasi). Namun perluasan lahan ini harus mengorbankan keberadaan hutan.

Jika ditanam di lahan basah, kata dia, rata-rata produktivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan di sawah biasa sehingga diperlukan lahan tanam yang lebih luas dengan biaya yang relatif tinggi.

Sayangnya, Eliza menemukan bahwa kondisi lahan sedemikian rupa sehingga kualitas lahan berisiko menurun akibat dampak pengembangan konversi garapan. Dimana pengembangan sawah secara sistematis merusak jaringan irigasi, mencemari lahan, meningkatkan serangan hama dan penyakit, serta kurangnya penerapan praktik pertanian berkelanjutan.

Di sisi lain, Eliza juga menegaskan, terjadi peningkatan jumlah petani dalam rangka berkurangnya luas lahan. Menurutnya, situasi ini akan menimbulkan masalah.

“Karena semakin rendah produktivitas sektor pertanian, maka semakin banyak orang yang menggarap lahan yang sempit tersebut, maka akan semakin tidak efisien dan produktif,” jelasnya.

Menurut dia, Pemerintah harus memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan peningkatan indeks penanaman. Untuk meningkatkan produktivitas, hal ini dapat dicapai misalnya dengan menggunakan varietas benih unggul yang mempunyai produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, serta tahan terhadap pengaruh perubahan iklim.

Sementara pada indeks penanaman, menurutnya, hal itu dapat dicapai melalui pembangunan dan revitalisasi irigasi. Menurutnya, jika pemerintah bisa mendorong adopsi inovasi dan teknologi secara massal oleh para petani di berbagai daerah.

“Kemudian kita bisa meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, termasuk program MBG, tanpa mengorbankan lahan hutan yang tersisa,” ujarnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel