Bisnis.com, Jakarta – Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden baru terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi utang senilai lebih dari Rp 8.000 miliar dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Seperti diketahui, pemerintahan Presiden Jokowi mencatatkan kenaikan utang yang sangat besar dalam dua periode. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kondisi utang pemerintah saat ini mencapai Rp8.338,43 triliun pada akhir April 2024. 

Jumlah utang tersebut meningkat sebesar Rp3.547,85 triliun dibandingkan posisi utang tahun 2019 yang mencapai Rp4.786,58 triliun.

Utang pemerintah meningkat signifikan dibandingkan tingkat utang pada awal masa jabatan pertama Jokowi.

Sekadar informasi, pinjaman pemerintah yang diperoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk Jokowi pada akhir tahun 2014 hanya sebesar $2,609 miliar.  Pinjaman pemerintah lampu kuning

Jika dijelaskan, utang pemerintah yang mencapai Rp 8.338,43 triliun hingga akhir April 2024 tampaknya dikuasai oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang menyumbang Rp 7.333,11 triliun atau setara dengan 87,9 persen dari total utang pemerintah.

Sisanya berupa utang sebesar Rp1.005,32 triliun atau 12,1 persen dari total utang pemerintah.

Rata-rata utang pemerintah terhadap PDB mencapai 38,64 persen pada April 2024. Pemerintah menyatakan rasio tersebut masih di bawah ambang batas aman yaitu 60 persen PDB sesuai UU Nomor 1. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Maliani Indrawati mengatakan rasio utang pemerintah meningkat pesat.

Mereka membandingkan rasio utang pada tahun 2021 yang hanya 26,5 persen dengan 39,7 persen pada tahun 2022.

Sri Maliani mengatakan, rasio utang Indonesia terhadap PDB pada tahun 2020 hingga 2022 disebabkan oleh meningkatnya pembatalan utang untuk belanja penanganan Covid-19.

Namun peningkatan utang tidak hanya terlihat di Indonesia, tetapi juga di banyak negara, tambahnya. 

Dia mencontohkan rasio utang terhadap PDB Malaysia yang mencapai 53,0 persen pada tahun 2012 dan akan meningkat menjadi 60,4 persen pada tahun 2022.

India juga mengalami pertumbuhan yang tinggi, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 67,1 persen pada tahun 2012 menjadi 86,5 persen pada tahun 2022.

“Perbandingan 10 tahun, dari tahun 2012 hingga 2022, menunjukkan peningkatan rasio utang terhadap PDB di semua negara, kecuali Vietnam, segera setelah pandemi terjadi.” “Hampir semua negara G20 mengalami peningkatan, bahkan negara seperti Rusia dan Arab Saudi mengalami peningkatan utang,” ujarnya, Selasa (11/6/2024).

Warisan Pertumbuhan Hutang

Meski jumlah utangnya besar, pemerintahan baru Prabowo juga mendapat tekanan dari penumpukan utang yang jatuh tempo, terutama pada periode 2025 hingga 2027.

Total utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2025 tercatat sebesar Rp 800,33 triliun yang meliputi obligasi negara (SBN) yang akan jatuh tempo sebesar Rp 705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun.

Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari pertumbuhan kredit tahun ini yang sebesar Rp434,20 triliun dengan rincian jatuh tempo SBN sebesar Rp371,8 triliun dan pinjaman sebesar Rp62,49 triliun.

Sedangkan pertumbuhan utang tercatat masing-masing sebesar Rp803,19 triliun dan Rp802,61 triliun pada tahun 2026 dan 2027. Oleh karena itu, utang pemerintah akan meningkat menjadi Rp 2,405 triliun dalam 3 tahun ke depan. 

Sri Mulani mengatakan, peningkatan utang yang signifikan di masa lalu disebabkan oleh peningkatan utang yang dikurangi untuk memenuhi kebutuhan pandemi Covid-19.

Pada masa pandemi CoVID-19, diperlukan anggaran sekitar Rp 1.000 triliun untuk belanja tambahan di saat pendapatan pemerintah anjlok tajam. 

Selain itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dengan persetujuan Komisi XI DPR RI sepakat untuk berbagi beban biaya keuangan penanganan Covid-19. 

“Komisi XI Pak Parry [Gubernur BI], dan kita sepakat pakai load sharing. Skema load sharing pakai SUN yang jatuh temponya maksimal 7 tahun. kemudian fokus pada 3 tahun terakhir, 2025, 2026 dan 2027, yang lain pada 2028, ujarnya.

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP. Ia meyakini pemerintahan mendatang akan menanggung beban utang yang sangat besar, apalagi pemerintah saat ini sedang mengatur ulang target defisit APBN TA 2025 yang lebih tinggi yang akan diterapkan oleh pemerintahan baru.

“Jangan terbebani dengan utang yang terlalu banyak, nanti kalau pemerintahan baru datang, utangnya akan terlalu banyak.” “Pemerintahan baru harus memulai dengan beban utang yang paling kecil,” jelasnya.

Dolphy mengatakan, penurunan rancangan target defisit APBN 2025 dimaksudkan agar pemerintahan baru tidak menanggung beban utang yang besar. 

Jadi Bu, jadikan APBN 2025 defisitnya rendah dulu, jangan langsung terlalu tinggi, ujarnya.

Pemerintah menetapkan target defisit sebesar 2,45 persen hingga 2,82 persen pada pemerintahan berikutnya pada tahun 2025. Dolphy yang juga anggota Pusat Anggaran DPRRI mengkritisi tingginya pagu target defisit yang mencapai hampir Rp 600 triliun.

Menurut dia, daftar defisit anggaran 2025 sangat besar dengan selisih belanja yang mencapai sekitar Rp3.500 triliun. Bahkan, tingkat defisit APBN tahun 2025 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah pergantian rezim di Indonesia.

Dolphy mengatakan seharusnya target defisit dirancang lebih rendah agar pemerintahan baru lebih leluasa menyesuaikan belanjanya melalui APBN Perubahan (APBN-P).

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Perdede mengatakan pemerintah mendatang memiliki dua opsi terkait beban utang di masa depan.

Pertama, kata Josua, pemerintah dapat melakukan debt swap, yaitu pembelian kembali surat utang pemerintah yang transaksinya diselesaikan dengan pemerintah menerbitkan serangkaian surat utang pemerintah lagi.

“Dan apabila terdapat perbedaan harga penyelesaian transaksi dapat diselesaikan secara tunai,” ujarnya.

Kedua, Josua mengatakan pemerintahan mendatang harus mempertimbangkan pertumbuhan utang, terutama dalam konteks menghadapi epidemi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2026.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk menunda pendanaan belanja pemerintah tingkat rendah.

“Dengan demikian, pemerintah akan mampu menjaga defisit fiskal pada tingkat yang sehat, yang berdampak pada daya saing biaya pinjaman pemerintah,” jelasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel