Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Perdagangan Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki memanfaatkan tertundanya implementasi undang-undang anti deforestasi Uni Eropa (EU/EUDR Deforestation Regulations) dengan memperbaiki ekosistem kelapa sawit.

Hal tersebut diungkapkan CEO Gapki Eddie Martono saat Indonesia Trade Fair (TEI) ke-39 yang digelar di ICE BSD, Tangerang, Banten pada Kamis (10/10/2024).

“Pada tahun pelatihan ini, kami semua berusaha untuk memperbaikinya,” kata Eddie, Kamis (10/10/2024).

Menurut Edi, salah satu kendalanya adalah jumlah minyak sawit yang masih sedikit. Pasalnya, tidak ada moratorium sawit kecil, berbeda dengan perusahaan dengan Keputusan Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2019 tentang Penundaan Izin Baru dan Peningkatan Pengelolaan Hutan Alam dan Padang Rumput Alam. 

Oleh karena itu, kata Edi, pemerintah kini mengumpulkan data konsumsi minyak sawit masyarakat, termasuk geolokasi, dengan dashboard nasional. “Saat ini pemerintah sedang berupaya melakukan hal tersebut melalui dashboard nasional, dan nanti khususnya pohon palem rakyat terdata dengan baik termasuk pembagian lahannya,” ujarnya.

Permasalahan lainnya adalah pemerintah Indonesia dan Komisi Eropa masih terpecah belah dalam hal data geolokasi. Eddy mengatakan, Indonesia tidak memperbolehkan transfer data geolokasi ke negara lain dalam aturannya.

“Saat ini tidak ada yang aneh, tapi mereka bisa menonton tapi tidak bisa mendownload, tapi tetap meminta geolokasi,” ujarnya.

Ia kemudian menyarankan kepada pemerintah agar Indonesia hanya bisa membagi wilayah geografis tempat pembuatan tanaman atau wilayah budidaya agar tidak membahayakan negara.

Selain itu, Uni Eropa tidak menerima sertifikasi keberlanjutan seperti Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) dan Meja Bundar Minyak Sawit Berkelanjutan (RSPO). 

Eddy berharap kedua pihak bisa mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua negara.

“Nanti dalam perjalanan ini kita berharap Uni Eropa bisa menerima, karena kita juga sudah menyiapkan ISPO yang wajib bagi kita, jadi ini contohnya. Jadi setidaknya kita bisa mempertimbangkannya, tapi kita harus saling memahami. ngomong-ngomong, kalau hukumnya seperti itu, ajak kami, mereka juga bisa menghormati kami,” tutupnya. Keterlambatan dalam hukum Eropa yang melarang deforestasi.

Dalam pernyataan bisnisnya, Komisi Eropa, atau Komisi Eropa, mengumumkan rencana untuk menunda penerapan undang-undang yang melarang impor produk terkait deforestasi selama satu tahun.

Keputusan tersebut diambil setelah mendengar seruan dari industri dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut kantor berita Reuters, kebijakan tersebut pada awalnya dipuji sebagai langkah penting dalam memerangi perubahan iklim. 

Namun, negara-negara dan industri seperti Brazil dan Malaysia mengatakan peraturan tersebut bersifat proteksionis dan dapat mendorong jutaan petani miskin dan kecil keluar dari pasar UE. 

Selain itu, terdapat banyak peringatan dari industri bahwa peraturan tersebut akan mengganggu rantai pasokan UE dan meningkatkan harga produk. Sekitar 20 dari 27 negara anggota Uni Eropa meminta Brussels pada bulan Maret untuk mengurangi cakupan undang-undang tersebut dan mungkin menangguhkannya. 

Mereka mengatakan bahwa undang-undang ini akan merugikan petani di kamp tersebut, dan akan dilarang mengekspor produk yang ditanam di kawasan yang mengalami deforestasi.

Dengan tertundanya proposal tersebut, produsen industri pertanian memiliki waktu hingga Desember 2025 untuk menyiapkan undang-undang tersebut, dan produsen kecil hingga 30 Juni 2026. Proposal tersebut masih memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa hingga Dewan UE. 

“Mengingat sifat baru EUDR, kalender yang dipercepat, dan beragam pemangku kepentingan internasional yang terlibat, Komisi menganggap fase tambahan 12 bulan dalam sistem ini sebagai solusi seimbang untuk mendukung operator di seluruh dunia dalam memastikan penerapan yang efektif sejak awal,” Komisi Eropa mengatakan dalam pernyataannya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA