Bisnis.com, Jakarta – Wacana perubahan skema penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) semakin berkembang. Presiden Prabowo Subianto juga mengumpulkan menteri dan pemangku kepentingan terkait untuk melaksanakan rencana tersebut.

Sejumlah menteri kabinet Merah Putih pun dipanggil untuk menghadiri rapat terbatas subsidi pada Rabu (30/10/2024) sore.

Pantauan Bisnis, hadir Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, Menteri Koordinator Perekonomian Airlanga Hartarto, Menteri Desa Yandri Susanto, Menteri Perdagangan Budi Santoso, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang.

Kemudian Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Menteri Keuangan Sri Muliani Indrawati, Menteri Sumber Daya Manusia Yasierli, Menteri Investasi Rozan Roslan.

Turut hadir pula Ketua Badan Pengentasan Kemiskinan Budiman Sujatmiko, PT Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan PerusahaanEL Negara (Persero) atau PLN Dharmawan Prasojo dan CEO PT Pertamina (Persero) Nike Vidyawati.

Hasan Nasbi, Kepala Departemen Komunikasi Kepresidenan, menjelaskan, dalam pertemuan tersebut, Prabowo meminta para menteri dan kepala departemen untuk mengaktifkan isu subsidi. Hal ini dilakukan untuk memastikan subsidi lebih tepat sasaran, baik kepada penerima maupun negara tujuan.

Hassan juga memastikan skema subsidi nantinya akan ditransfer langsung ke masyarakat penerima manfaat.

“Iya, saat ini kami sedang menyempurnakan datanya agar benar penerimanya. Oleh karena itu, tidak ada lagi subsidi ilegal. Jadi pasti sasarannya, subsidinya ke orang-orang itu,” kata Hassan di tempat.

Prabowo juga dikabarkan telah menginstruksikan para menteri dan pejabatnya untuk menyelesaikan pendataan penerima subsidi dalam waktu dua minggu.

Termasuk pelacakan Data Jaminan Sosial Terpadu (DTKS) di berbagai instansi/lembaga. Badan Pusat Statistik (BPS) juga ditugaskan mengelola pendataan.

Lantas, relevankah mengubah skema alokasi BBM ke BLT? Apa pro dan kontranya? Ancaman terhadap kelas menengah

CEO Celios Bhima Yudhisthira mengatakan, perubahan skema subsidi BBM ke BLT perlu mendapat perhatian. Pasalnya, penerima BLT dan pengguna BBM subsidi tidak semuanya miskin.

Faktanya, mereka yang menggunakan bahan bakar bersubsidi juga merupakan kelas menengah yang rentan. “Yang ingin saya sampaikan adalah BBM bersubsidi tidak melayani kelompok kelas menengah rentan yang bergantung pada pembelian BBM bersubsidi,” kata Bhima saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut Bhima, saat ini terdapat 137,5 juta orang yang masuk ke kelas menengah atau hampir 50% dari populasi.

Jadi, jika BLT sebagai pengganti subsidi BBM hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, Bhima khawatir masyarakat kelas menengah yang rentan akan jatuh miskin. Sebab, mereka tidak termasuk dalam kategori miskin.

“Kami khawatir jika cakupan BLT dikurangi untuk mengkompensasi subsidi BBM, maka akan terjadi pelemahan daya beli yang signifikan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Bhima mengingatkan, rencana pengurangan subsidi BBM sebaiknya dilakukan secara bertahap. Selain itu, transfer uang juga diperlukan untuk mendapatkan kompensasi yang nominalnya setara dengan subsidi energi yang diberikan.

Bhima misalnya menjelaskan, jika anggaran subsidi BBM dipotong 30% pada tahun 2025, maka tambahan BLT sama dengan penghematan subsidi BBM sebesar 30%.

“Pada saat yang sama, tarif angkutan umum dikurangi dan tempat parkir mobil diperluas. “Sehingga masyarakat mempunyai pilihan untuk memilih transportasi yang lebih ramah kantong,” kata Bhima. Masalah data

Eco Lisianto, Wakil Direktur Institute for Economic Development and Finance (Indef), mengatakan berhasil tidaknya penyaluran BBM melalui BLT bergantung pada data yang akurat. BLT menjadi masalah besar jika datanya tidak akurat sehingga berujung pada politisasi, ujarnya.

“Kalau datanya kurang akurat, nanti ada protes. Apakah pemerintah bisa menegakkan data BLT?”

Menurut dia, jika disalurkan hanya kepada masyarakat miskin yakni 26 juta jiwa, dampaknya terhadap perekonomian tentu tidak akan terlalu signifikan. Pasalnya, masih ada masyarakat yang sebenarnya tidak miskin, namun rentan miskin, yang akan terjerumus ke jurang yang dalam dan tidak mendapatkan BLT jika kebijakan pengetatan subsidi terus dilakukan.

Setidaknya terdapat 130 juta masyarakat kelas menengah yang rentan terhadap kemiskinan atau sering disebut dengan aspiring middle class. Eco mengatakan jika BLT tidak mencapai angka tersebut, pihaknya khawatir peningkatan subsidi BBM akan berdampak pada kinerja perekonomian kelompok.

“Jika Anda menyebarkan kelompok ini, seberapa jauh perkembangannya? “Di masa Covid, bantuan juga sampai ke kelas menengah,” tutupnya. Ini belum waktunya

Eco juga menilai kebijakan peningkatan subsidi BBM tidak tepat di tengah situasi perekonomian dalam negeri yang kurang menguntungkan saat ini. Situasi perekonomian yang tidak menguntungkan tersebut ditandai dengan menurunnya daya beli dan meningkatnya gelombang PHK.

“BBM sangat penting bagi perekonomian, termasuk industri dan transportasi. “Kalau saya lihat, kalau sekarang ada kenaikan subsidi, tidak akan menyebabkan inflasi tinggi, tapi pasti akan melemahkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan efek psikologisnya,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi masyarakat saat ini sedang kurang baik. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah tabungan masyarakat yang berada di bawah angka 100 juta rupiah.

Saat ini, rata-rata tabungan masyarakat kelas menengah ke bawah hanya sebesar 1,5 juta rupiah. Dalam kondisi seperti ini, guncangan harga konsumen akan berdampak lebih besar terhadap perekonomian.

“Waktunya memang harus tepat, tapi yang pasti bukan saat kondisi perekonomian masyarakat sedang lesu,” ucapnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA